11. "Saran dari Wildan sebagai seorang adik lelaki yang bijak."

132 19 4
                                    

Malam hari di kediaman keluarga Baskara benar-benar sangat sepi. Hanya ada Haura dan Wildan yang baru saja kembali setelah berjalan-jalan keluar rumah.

Memang rumah Baskara begitu sepi. Shiwa dan Ameena suka berpergian. Zahra sedang berada di Pondok, sedangkan Ragas masih bermain dengan temannya. Caca, berada di rumah depan.

“Rumah ini begitu sepi ketika malam hari,” ujar Haura melepaskan sepatunya dan menaruh kedalam lemari.

“Memang begitu. Rumah dengan seisi sok sibuk, saya lebih suka sepi sih. Sebab ketika ramai, mereka terasa mengganggu.” Wildan berjalan melewati Haura. Ia masuk kedalam kamar lebih dahulu sambil menenteng tas laptop dan laporan.

Haura mengikuti langkah Wildan. Ia ikut masuk kedalam kamar, menutup secara perlahan pintu nya.

“Kenapa kau sangat takut ketahuan? Haura..," panggil Wildan. “Kau memiliki masalah dengan Farhan?”

“Tidak ada,” jawab Haura dengan tersenyum. Ia mengambil handuk yang tergantung.

“Haura,” panggil Wildan.

Haura hanya menghentikan langkahnya tanpa melihat Wildan. Ia tahu bahwa Wildan akan menanyakan banyak hal kepadanya soal kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu.

“Saya tidak akan menanyakan apapun.”

Penuturan Wildan membuat Haura hanya bisa menghela nafas. Ia sudah takut Wildan akan marah atau tidak suka soal dirinya.

“Kau tidak bertanya kenapa saya tidak akan menanyakan sesuatu?”

Haura memutarbalikkan badannya menatap Wildan. Ia mendengarkan semua yang Wildan katakan. Ia hanya menghela nafas sebelum mengatakan sesuatu, “Kau tahu kenapa saya tidak berani mengatakan banyak hal terhadapmu? Saya takut menyinggung atau bahkan takut kau akan menjadi kepikiran soal apa yang terjadi dengan saya, Wildan. Saya sudah berkata jangan berlebihan, saya sudah memperingatimu berkali-kali. Jangan berlebihan dengan masalah yang menimpa saya, Wildan.”

Wildan hanya menatap Haura, ia tak bergeming sedikitpun dari pandangan Haura.

“Saya tidak berlebihan. Bukankah ini hal yang wajar yang bisa saya lakukan? Saya imam mu, saya berhak ikut campur atas segala hal yang menjadi masalahmu, Haura. Sekarang kau tidak sendiri, kau punya Suami. Kita sudah Ijab Kabul beberapa hari yang lalu. Kau sangat takut dengan perasaanmu atau kau takut saya berpikiran buruk terhadap masalah yang menimpa dirimu? Kau pikir saya akan membela mu atau menjauhi mu? Saya tidak akan membela mu jika kau salah, saya hanya membela apa yang menurut saya benar, Haura. Jika saya membela mu artinya kamu benar. Kamu jangan memikirkan hal itu lagi.” tegas Wildan.

“Tapi, kau tidak harus ikut campur atas apa yang terjadi pada saya, Wildan. Kau harus melakukan apa yang kau lakukan tanpa harus terjun ke dunia yang seharusnya tidak kau tempati,” jelas Haura. Matanya memerah, wajah Haura mulai terlihat begitu sedih dan tidak ingin Wildan terkena skandal buruk.

“Haura, mau itu akan merusak reputasi saya, itu tidak masalah. Saya tidak mementingkan pekerjaan atau hal apapun yang harus saya kerjakan hanya untuk dunia. Saya hanya memperhatikan dan mempedulikan dirimu. Saya hanya harus peduli dan perhatian terhadap Istri saya. Bagaimana pun keadaannya,” Wildan mulai membuka kancing bajunya satu persatu. Ia duduk dipinggir kasur sambil sibuk membuka bajunya yang memperlihatkan dada bidangnya.

“Wildan, kau sebaiknya mundur. Saya tidak ingin membuatmu terlibat, ini adalah hal yang paling buruk. Dan, saya tidak ingin memberikan tanggapan dan kesan buruk terhadapmu. Kenapa saya selalu diam dan tidak ingin mengatakan apapun terhadapmu? Saya tidak mau menyakiti sepersen pun tentang dirimu, Wildan. Kau bahkan tidak mendapatkan hati saya, kenapa kau harus mendapatkan sikap buruk dari oranglain tentangmu nantinya? Saya tidak ingin membuatmu lebih buruk, Wildan. Cukup saya saja yang buruk, kau jangan.” Haura menjelaskan yang kemudian menggelengkan kepala. Ia benar-benar tak ingin Wildan menjadi sasaran empuk orang-orang yang membencinya.

MAS WILDAN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang