“Haura, tidak semua orang bisa menyukaimu. Wajar jika ada yang suka dan tidak suka. Untuk itu, kau harus bisa melihat lebih luas tentang pandangan orang-orang. Tidak ada yang mengetahui kau orang baik, maka dari itu teruslah berbuat baik sampai orang tidak bisa menebak. Kau baik karena benar baik atau kau baik hanya untuk pencitraan.”
“Lalu, Haura.. Belajar memaafkan dan berdamai dengan keadaan. Hiduplah dengan damai dan tentram. Tanpa memperhatikan apa yang salah. Jika selama ini yang kau perhatikan hanyalah memperbanyak amal tanpa memikirkan isi dunia. Hidupmu akan lebih tenang,”
“Jangan berhenti jadi orang baik, Haura. Meskipun orang-orang dilingkungan mu tidak baik, maka jadilah salah satunya.”
Selama seharian ini Haura hanya memikirkan ucapan Wildan. Ia tak bisa memikirkan banyak hal lagi. Meskipun reputasi nya sudah membaik, tapi dia terus kepikiran dengan kata-kata Wildan. Kenapa dia terus memikirkan kata-kata buruk dari netizen tentang kejadian ini?
Haura mulai berdiri sembari mengambil handuk yang tergantung. Matanya terus mengedar ke sekeliling rumah itu. Bersih! Itu yang ada di pandangannya. Rumah itu sudah cukup bersih dan bisa di tempati setelah beberapa hari dibersihkan. Haura tampak kepikiran soal Wildan, apa yang Wildan lakukan? Dan, apakah keadaan Wildan baik-baik saja sejak hari terakhir? Ia ingin menelpon atau mengecek sosial media Wildan, namun tangannya Haura pukul agar tidak kepo lagi tentang Wildan.
“Non, semuanya sudah saya bersihkan. Bahkan halaman belakang sudah tidak tinggi rumputnya, saya izin pamit kalau begitu, permisi Non.” ujar salah satu tukang kebun yang baru saja menyelesaikan tugasnya.
Haura hanya tersenyum sembari mempersilakan bapak yang sudah berumur itu.
Haura teringat sesuatu, “Jangan menarik perhatian lelaki lawan jenis, Haura. Bahkan saya bisa cemburu. Tersenyumlah hanya kepada saya, kau tahu? Saya sangat senang hanya bisa mendapatkan senyuman darimu dengan tulus. Aurat! Ingat, perhatikan baju dan hijab mu. Jangan sampai lengah! Meskipun tak ada seorangpun. Pakai lah Hijab kecuali tidak tidur! Bahkan hantu-hantu saja tidak akan saya biarkan melirik aurat mu sejengkal pun.”
Memikirkan perkataan itu membuat Haura tersenyum manis. Bagaimana pun juga Wildan yang cuek bisa perhatian dan menggombal begitu sangat luar biasa.
“Kau harus baik-baik saja, Wil. Saya juga ingin terus bersama denganmu. Tapi tidak bisa. Saya tidak mungkin merusak dirimu dengan keberadaan saya. Kau sudah menjadi lebih baik, jangan menjadi lebih buruk karena saya, Wil.”
Haura bergumam sembari membersihkan sendok dan garpu yang sudah lama tak terpakai. Meskipun sudah lama ditinggal, barang-barang disana masih terlihat bagus karena bermerek semua. Ya, meskipun ada beberapa yang kotor akibat air dan menjadi berkarat.
-----
Wildan sudah sampai di pesantren milik keluarga Haura. Ia sebenarnya sudah beberapa kali mampir ke pesantren untuk membantu mengajar atau membagikan ilmu dengan berceramah.
Wildan mampir menuju ke kantor dan menyapa para ustadz dan ustadzah yang mengajar. Wildan juga membawa beberapa nasi kotak untuk dibagikan ke adik-adik yang berada disana.
“Assalammualaikum warahmatullahi wabarakatuh!,” Wildan memasuki area kantor.
“Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh.” jawab para pengajar kompak.
Wildan berjalan masuk sambil tersenyum ramah, Ia boleh dengan bebas keluar masuk karena Wildan merupakan ahli waris ketika bersama dengan Haura. Namun, sejak perpisahannya dengan Haura. Wildan yakin Ia tak akan mendapatkan komisi dari sini. Makanya dia menyampaikan salam perpisahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
MAS WILDAN [END]
Teen Fiction∆ BANTU FOLLOW, VOTE, KOMEN DAN SHARE, YA ∆ "Padahal dalam cinta masa lalu itu tidak penting, Haura." Wildan terkekeh sambil menunduk. "Saya tidak peduli sebagaimana masa lalu mu, keburukan mu dan apapun yang menjadi masa lalu bagimu. Saya hanya i...