Bagian 20

612 115 11
                                    

Satya menerima sebuah amplop biru muda yang diserahkan oleh seorang gadis tak dikenal. Ia menaikkan sebelah alis saat gadis itu enggan menatap matanya, hanya menunduk menatap kedua kakinya yang berbalut sneakers hitam.

Udara dingin Seoul seolah menusuk tulang laki-laki berusia 16 tahun itu. Terlebih ia tidak menggunakan jaket yang cukup tebal untuk menghangatkan tubuhnya.

"Sunghoon-ah.. gomawo.."

"Ye?"

Satya dibuat bingung lagi oleh gadis berkucir kuda yang pergi begitu saja. Tapi sudahlah, ia hanya ingin cepat pulang ke rumahnya. Tubuhnya sudah mengeluh sakit karena latihan ekstra yang ia lakukan untuk perlombaan beberapa bulan lagi.

Dengan tergesa ia memasukkan amplop biru kecil ke dalam saku jaketnya. Segera Satya berlari menuju halte terdekat, tak ingin tertinggal bus terakhir malam ini.

Tanpa remaja itu sadari, amplop tersebut tidak masuk ke dalam saku jaketnya. Benda tipis itu terjatuh begitu saja ke tanah, terbawa oleh angin malam ditengah orang-orang yang berlalu-lalang.





















- BAGIAN XX -

Satya terbangun dengan rasa sakit pada lehernya. Sepertinya ia salah posisi tidur. Ia turun dari kasur, berjalan mendekat pada jendela besar yang berada di kamarnya.

Sudah siang.

Laki-laki itu memang baru saja terlelap pukul 6 pagi, pikirannya sangat kacau semalam hingga membuat matanya terus terjaga. Kini kepalanya sedikit terasa pening, namun janji dengan seseorang membuatnya memilih untuk bangkit dan bersiap.

Tidak membutuhkan waktu lama untuknya bersiap keluar.

Pintu kamar terbuka. Suasana rumah sepi karena ayah dan mama pergi ke rumah keluarga sang ibu tiri, tidak tahu ada apa, hanya saja ia menduga itu berhubungan dengan si bayi kecil. Sekarang hanya ada beberapa ART dan Mona yang dapat dipastikan masih terlelap di kamar, terlebih lagi hari ini adalah hari minggu.

Ponsel Satya berdering, alih-alih menekan ikon hijau, jarinya tergerak untuk menekan ikon merah hingga panggilan masuk tertolak. Tampak senyum tipis menghiasi wajah tampannya.

Pintu rumah mewah tersebut terbuka. Satya keluar, menatap seseorang yang tengah berdiri di halaman rumah seberang sembari bermain ponsel.

Sebuah panggilan masuk lagi, kali ini Satya memilih untuk menekan ikon hijau.

"Kenapa?" ucapnya pada orang ditelepon.

"Kak.. cepetan deh. Panas tau."

"Suruh siapa diem di luar?"

"Ya--"

Dari kejauhan Satya bisa melihat bahwa Wulan memutar bola mata sembari memutuskan sambungan. Gadis yang lebih muda darinya itu melambaikan tangan agar ia segera keluar dari rumah.

Keduanya memang sudah membuat janji untuk pergi ke suatu tempat.

Satya keluar dari gerbang rumahnya, menyebrang jalanan kosong komplek untuk menghampiri Wulan yang berkecak pinggang di samping sebuah motor matic berwarna merah muda. Tampak kontras dengan pakaian yang gadis itu kenakan.

Wulan menepuk jok motornya, menunjukkan jam tangan di pergelangan tangan kirinya sembari berdecak. "Ngaret! Kita janjian jam setengah satu, sekarang udah mau jam 2."

"Lagian kenapa mau belajar motor? Belum punya SIM juga."

"Ya biar gak nebeng ke kakak terus," jawab Wulan sembari memberikan kunci motor pada Satya.

[HIATUS] Satu Empat TigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang