8. Kucing Garong.

1.7K 213 53
                                    

Vere menghempaskan tasnya ke sofa dengan sedikit kesal, baru pulang kerja badan dan pikiran penat, tapi malah disambut dengan cerita seperti itu. Dasar memang, menjengkelkan. Dia juga wanita, tapi sering tidak habis pikir dengan pola pikir wanita yang lain. Sudah sering dia mendengar keluhan kalau sedang dalam masalah rumit rumah tangga, alih-alih menyelesaikan malah hanya playing victim

Tidak sedikit, jumlah itu terlalu banyak. Wanita kerap berada dalam sebuah toxic relationship tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Ada yang lebam sering menghiasi bagian tubuhnya, tapi tidak pernah melaporkan kekejian suaminya dengan alasan kasihan anak-anak, mau maki takut dosa. Ada juga yang tahu suaminya pelit, masih juga bertahan karena alasan tidak masuk akal. Cerita lain ada juga, rela dimadu oleh suaminya karena mau cerai dia memikirkan masa depan secara dia tidak mandiri secara finansial. 

Satu contoh lagi sekarang berada di hadapannya, wanita yang beberapa waktu lalu menangis mengadu telah dikhianati oleh suaminya, sudah bertekad memberi pelajaran dan memilih cerai saja. Sekarang dia berada di sini masih dengan status menjadi istri Aariz. Beragam alasan Zakia lontarkan untuk membenarkan keputusan yang dia ambil, menganggap khilaf itu memang wajar dan setiap orang seharusnya diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Ingin maki sekali lagi, sayang nanti jadi tidak elegan. 

"Kamu memang bodoh Za," gumam Vere sambil menekan bubuk kopinya dengan stamper.

"Ve, ini rumah tangga bukan pacaran. Kan kalo bisa cerai itu dihindari," ucap Zakia yang seakan sudah lupa dengan apa yang digemborkan waktu itu. 

"Ya kalo urusannya cuma pertengkaran kecil urusan naruh handuk sembarangan, urusan kaus kaki kenapa hilang sebelah terus, urusan laki kamu demen ngupil terus langsung pegang iPad. Itu mah emang gak perlu, ini urusan selingkuh Zakia." Vere menjelaskan dengan tangan sibuk menyiapkan kopi untuknya dan sahabatnya ini. 

"Apa itu?" tanya Zakia begitu melihat ke arah Vere tanpa mendengar kalimat panjang yang terlontar itu. 

"Espressowe need caffeine in our system. Petjah rasanya pala ku." Vere menjawab. 

"Americano ajalah, agak light." Zakia menawar. 

"Ini lagi, nyusahin aja." Vere yang sudah kesal jadi semakin menggerutu. 

"Kan cuma nambah aer panas aja kan? Pencet lagi aja tuh mesin kopi. Heran uring-uringan aja." Zakia mengomel. 

Vere berdecih, padahal siapa yang sudah membuat hatinya jengkel bukan kepalang, kalau ada masalah memangnya dia mau lari kemana lagi selain kepadanya. Mengadu kepada Mia jelas tidak mungkin, kecuali kalau mau beritanya segera tersebar di WAG se-Indonesia raya. Dengan dalih jangan bilang siapa-siapa, begitu terus sampai lingkaran setan itu bertemu lagi dengan ujung satunya. 

Lelaki selingkuh mengaku khilaf, kalau namanya khilaf itu ya cuma sekali lalu bertobat, bukannya terus diulang, itu namanya tuman. Lagipula sebelum mereka menikah dengan buku nikah selundupan itu, kabarnya hubungan itu sudah terjalin berbulan lamanya. Aariz memang terlihat bodoh, tapi ternyata dia bisa saja mencari alasan untuk ngibul di depan Zakia. Ngaku khilaf, sialan. Khilaf dari mana itu wahai sempaknya buto ijo. 

"Za, newa tau gak?" tanya Vere dengan membawa secangkir espresso. 

"Gak lah, kami sengaja gak beri tahu dia," jawab Zakia. 

"Emang sih, tau aku kalo ini rumit. Tapi kamu juga harus teges." Vere menasehati. 

"Udah teges aku Ve," jawab Zakia. 

"Hilihhhh, teges tapi laki memohon luluh." Vere mencibir. 

"Ya gimana lagi, namanya suami. Masih cinta mana dia kan bapaknya Newa." Zakia memberi alasan. 

Love In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang