12. Menguak Busuk

1.8K 247 49
                                    

Wanita di depannya ini, tampak putus asa setelah mengucapkan itu. Wajah yang tidak pernah tampak pada para istrinya yang mengaku sangat sayang kepada dirinya. Apa yang mau dikatakan oleh Zakia, sebenarnya Sandy sudah mampu memperkirakan.

"Ya, boleh saja," jawab Sandy. 

"Bisa Pak Sandy mencari tahu? Dengan siapa saja mas Aariz pergi ke Paris dan apa yang mereka lakukan di sana." Zakia bertanya. 

Sandy terdiam beberapa saat, akhirnya istri si Aariz curiga juga setelah dikadali entah sekian lama. Sebenarnya dengan mudah Sandy bisa menjawab, Aariz pergi ke Paris bersama selebgram itu sekalian business trip. Tapi rasanya tidak elok langsung saja berkata demikian, lebih baik bila membayar seseorang untuk mencari tahu saja dan menyerahkan hasilnya dilengkapi dengan bukti fisik. 

"Baik, saya akan bantu," jawab Sandy dengan berat. 

"Makasih Pak," balas Zakia yang segera berpamitan. 

Kini jantungnya seakan mengalami takikardi, degubnya begitu kencang juga cepat. Meski dalam hati dia memohon agar kecurigaannya tidak terjadi, tapi di sisi lain Zakia juga ingin menampik semuanya dan mengatakan suaminya tidak akan begitu lagi. Zakia berusaha menenangkan diri dan menyerahkan semuanya kepada suami mbak Grace untuk diselidiki. Semoga saja pak Sandy ini jujur, dengan siapa lagi Zakia minta tolong selain orang ini. 

Sandy tetap berdiri di tengah ruangan setelah melepas kepergian Zakia, kalau begini harus bagaimana lagi. Sebenarnya urusan rumah tangga orang lain dia tidak ingin mencampurinya. Tapi kalau ada yang memintanya seperti ini, bagaimana. Bisa saja Sandy langsung memberi tahu, bagaimana pun dia sudah sering melihat sendiri tingkah sahabatnya itu. Tapi, yang seperti itu rasanya tidak beretika.

Aariz adalah temannya, sedangkan Zakia juga sama. Urusan akhlak harusnya memang urusan masing-masing karena dirinya juga aslinya sama kotornya. Tapi, memang diakui, Aariz itu sudah agak keterlaluan. Dengan lunglai dia melangkah masuk, sementara istri keduanya itu segera menyambutnya dengan senyum yang lembut.

"Mbak Zakia udah pulang Pa? Kok cepet?" tanya Grace yang baru saja mengeluarkan sebuah loyang keramik cantik.

"Iya, urusan udah selesai, kenapa?" tanya Sandy.

"Mau bawain brownies buat Newa, baru ambil loyang. Belum ambil napkin udah pergi," sahut Grace sedikit kecewa.

"Brownies, kayaknya enak. Buat papa saja boleh?" tanyanya memandang mesra.

"Papa bukannya diet? High calorie ini," tanya Grace.

"Sesekali tidak apa kan? Papa minta satu slice," ucap Sandy sekalian mengusir istrinya.

Memang Aariz itu sahabatnya, tapi permintaan Zakia tidak bisa ditolaknya. Dengan perlahan dia mengangkat smartphone setelah menyentuh layarnya beberapa kali dan bicara,

"Bisa telusuri? Aariz dari Devin corp. Pergi ke Paris kemarin."

***

Ajakan Mia untuk brunch ditolaknya halus, Vere yang menanyakan alasan juga didiamkannya saja seolah dia memang sangat sibuk. Yang tidak berhenti sebenarnya adalah pikirannya, menunggu kabar dari Sandy sepertinya lama sekali. Memang, mau minta tolong kepada siapa lagi. Yang dikenalnya dan mempunyai pengaruh yang agak begitu cuma orang itu. Meminta tolong orang lain kelas tidak mungkin, skandal bisa saja tersebar dengan cepat.

Hari berganti, kecemasan itu masih tetap bersemayam di hati juga memenuhi kepala. Pekerjaannya melambat dan dalam beberapa jam Zakia hanya memandangi saja dua monitor yang berada di depannya. Hanya untuk menerjemahkan novel best seller di Indonesia yang akan didistribusikan secara internasional ini, satu paragraf saja Zakia membutuhkan waktu hingga satu jam. Otaknya rasanya menguap entah kemana, sementara pak Sandy hingga sekarang masih juga belum memberikan informasi. 

"Bu, ada tamu," lapor pegawainya yang baru masuk itu.

"Siapa?" tanya Zakia seketika.

"Katanya, namanya pak Sandy," kata orang itu.

Jantung Zakia kembali berdegub kencang, "suruh masuk saja," perintahnya. 

Setelah menanti lama dalam ketidak pastian, ketika saatnya hampir tiba tapi rasanya jantung ini hampir terlepas dari tempatnya. Berita baik ataupun buruk rasanya tak mampu diterka. Dalam hati Zakia berteriak berdoa, semoga semua itu hanya pikiran buruknya saja. Suaminya berkata telah tobat, insyaf, semoga dia masih insyaf.

"Baik Bu," jawab pegawainya itu yang langsung beranjak pergi. 

Telapak tangan Zakia seketika mendingin, apalagi ketika seorang pria yang memakai setelan jas lengkap itu masuk ke dalam ruangannya. Pak Sandy datang tanpa menelpon dulu, meski kedatangannya ini sangat dia harapkan tapi tetap saja Zakia tidak siap. Senyum hangat yang terpampang itu tidak membuat Zakia lebih tenang, kepalanya terisi dengan berbagai pikiran buruk. 

"Silahkan," sapa Zakia kaku.

"Makasih," jawab Sandy sopan tapi terus saja tetap berdiri.

"Gimana Pak?" tanya Zakia dengan was-was. 

"Suruhan saya udah dapat informasinya, ini ... " Sandy mengulurkan sebuah tablet yang semula dia simpan di dalam kantong jasnya. 

"Makasih Pak, silahkan duduk." Zakia menerima tablet itu dengan gemetar. 

"Terima kasih," jawab Sandy yang bisa melihat dengan jelas perubahan wajah istri temannya itu. 

"Apa yang sudah anda dapatkan?" tanyanya.

"Kamu, bisa lihat sendiri, saya tidak mau hanya bicara," jawab Sandy.

"Maksud anda?" tanya Zakia.

"Semua yang kamu cari, jawabannya ada di sana." Sandy tersenyum.

Zakia mengangguk, meski gemetar dan jantung bertalu. Jawaban dari semua ada di sini, tapi menggerakkan jari saja terasa kaku. Perlahan dia membuka satu demi satu, yang tampak di matanya itu sudah cukup menggambarkan dan jawaban atas pertanyaan yang terhampar di kepalanya. Demi apa sumpah setia itu kembali diucap, demi apa permintaan maaf itu dirangkai. Kesempatan kedua itu diberi bukan untuk dirinya, tapi untuk Newa juga keluarga. Tapi kenyataannya, pengkhianatan itu kembali dilakukan.

Hatinya nyeri,

sekali dibodohi itu masih wajar, tapi kalau dua kali diperlakukan seperti ini, tentu yang bodoh adalah dirinya. Sudah cukup, harga dirinya sebagai seorang istri terinjak hingga ringsek di atas tanah. Benar yang dikatakan oleh Vere, wanita seharusnya tidak selemah ini. Tapi bagaimana lagi, Zakia adalah manusia biasa. Airmata mulai mengambang disertai gemeretak hati yang penuh amarah, juga pilu. Cukuplah kali ini, sudah cukup. Tidak akan ada lagi maaf untuknya, untuk mereka.

Zakia menggenggam tablet itu dengan erat, di situ semua informasi yang dia butuhkan tertulis dengan lengkap, juga disertai dengan beberapa foto. Tiket penerbangan first class itu, atas nama Aariz juga Syeha, business class itu untuk Amel dan Lina. Ada informasi di hotel mana mereka tinggal, Aariz dan Syeha berbagi kamar hotel yang sama pada sebuah president suite room. Hati ini kembali remuk berantakan, pecah belah tidak karuan. Apalagi ketika melihat foto Aariz dan Syeha sedang lunch romantis di atas sebuah lux cruise di Seine River dengan memandangi menara Eiffel. 

"Zakia, kamu tidak apa-apa?" tanya Sandy iba. 

Zakia tidak mampu menjawab, lehernya terasa tercekat dan matanya sudah penuh dengan air. 

***

Love In BetweenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang