Oliver tidak menyangka jika percakapan singkat antara Hiro dan dia tadi pagi, menumbuhkan rasa penasaran yang tidak kunjung hilang sampai jam delapan malam tiba. Padahal, Oliver sudah mati-matian menahan diri untuk tidak menemui Hiro, namun, usahanya sia-sia sebab sekarang dia sudah berada di kamar saudaranya. Tepat di pintu penghubung antara kamar Hiro dan balkon.
Seperti biasa, Hiro duduk di sana bersama boneka kelincinya.
Bedanya, malam ini tidak ada bintang, melainkan hujan lebat yang membuatnya sedikit kedinginan.
"Jangan duduk di sana, nanti lo sakit," tegur Oliver setelah dua menit memandangi punggung saudaranya dalam diam.
"Kenapa?" Hiro tidak menoleh ke belakang. "Bukankah kamu tidak peduli sekalipun saya mati?"
Oliver menghela, pada akhirnya ia mendekat dan duduk di sebelah Hiro yang menatap lurus ke depan. Dalam hati, ia hanya berharap agar Papanya tidak melihat apa yang sedang dia lakukan saat ini.
"Lo marah?"
"Tidak," balas Hiro lagi, "saya hanya sedikit kesal karena kamu terus mengabaikan saya tanpa alasan."
Kekehan Oliver langsung terdengar. Kali ini berhasil membuat Hiro menoleh ke arahnya. Wajahnya tidak berekspresi, muram seperti langit malam ini.
"Jangan marah beneran, kemarin gue cuma pura-pura." Oliver mengakui karena ia merasa tidak sanggup berbohong kepada Hiro lebih lama lagi.
"Saya tidak percaya, kamu terlihat benar-benar marah waktu itu. Saya tahu, sekarang kamu ingin berbaikan karena kamu sangat penasaran dengan benda cantik itu 'kan?" Anak itu memunggunginya kembali dengan wajah geram yang bikin Oliver sulit sekali menahan tawa.
"Iya. Gue penasaran." Oliver mengaku sambil bergeser kian dekat dengan Hiro. Lalu tiba-tiba saja, dia menarik boneka kelinci yang sedang anak itu peluk dan mendudukinya sedetik kemudian. Hiro terkejut, matanya terbelalak, mulutnya ikut-ikutan terbuka melihat boneka kesayangannya berada dibawah pantat Oliver.
"Oliver!" pekik Hiro masih melotot geram. Seolah Oliver sedang menyiksa kelinci peliharaannya. "Cepat lepaskan dia!"
"Bentar." Ekspresi Oliver masih sejahil tadi ketika menahan tangan Hiro yang ingin menarik telinga boneka itu. Bodohnya, Hiro justru berhenti bergerak saat pantat Oliver mengeluarkan bunyi kentut beberapa kali. Ia tercengang. "Aaaa lega."
"Kelinci saya...."
"Nih gue balikin." Tanpa rasa bersalah Oliver menyerahkan boneka kelinci itu kembali kepada Hiro yang membatu. "Kentut gue nggak bau--buset jangan liat gue kayak gitu, gue cuma bercanda doang tadi."
Hiro diam. Ia bahkan tidak mau menyentuh bonekanya yang tersiksa karena kentut Oliver. Anak itu menunduk.
"Gue minta maaf, Ro. Maafin gue dong."
"Minta maaf kepada kelinci saya. Kamu selalu membuat harinya buruk karena kekejaman kamu!"
"Iya deh iya." Oliver pasrah, kemudian mengusap-usap telinga boneka itu. "Maafin gue ya, Ci. Kalau lo nggak maafin gue tendang ke bawah sekarang juga."
"Sudahlah, nanti saya akan meminta Anna membawanya ke tempat pencucian." Hiro mendengkus pelan, sedangkan Oliver memandangnya heran, anak itu betulan tidak asik diajak bercanda malam ini.
"Maksud lo laundry?"
"Iya, itu," jawab Hiro lesu. Bibirnya tampak sedikit pucat. Mungkin karena dia sedang kedinginan.
"Tapi lo udah nggak marah lagi sama gue 'kan?"
"Harusnya saya yang menanyakan itu kepada kamu, karena saya tidak pernah bisa marah kepada kamu lebih dari satu menit."
KAMU SEDANG MEMBACA
Belenggu Hiro |Haruto| (TERBIT)
Ficção Adolescente"Kamu tidak akan mati, kami akan menyembuhkanmu kembali." Segalanya bermula ketika dua Dokter muda mengadopsi Hiro dari panti asuhan. Hiro bahagia, karena dia pikir akan segera memiliki orang tua dan keluarga yang menyayanginya, sayangnya yang terj...