Lampu-lampu di jalanan itu perlahan meredup, tapi dia masih menikmati suasana malam di taman itu. Bibir yang diolesi sedikit lipbalm berwarna merah muda itu perlahan menyunggingkan senyuman tipis bersamaan dengan suara tawa yang amat terdengar pedih.
Setelah pulang sekolah, Saira mendatangi taman ini. Berharap dengan ia pulang terlambat sang Papi akan mencarinya seperti tempo hari. Nyatanya, tidak. Bahkan pesan nya yang meminta sang Papi untuk menjemput nya pun tak dibaca sama sekali.
"Haha, bangsat..."
Memangnya sang Papi akan bereaksi seperti apa? Dia akan merasa khawatir karena Saira belum juga pulang sampai selarut ini? Atau sang Papi akan menyuruh sopir untuk mencari keberadaannya?
Tidak. Hal itu sama sekali tidak akan terjadi. Berbanding terbalik, jika hal ini dilakukan oleh Kayra. Pasti Papinya akan panik, dan rela meninggalkan rapat demi mencari Kayra. Yah, meski Saira tahu Kayra tidak akan pernah pergi keluar jika tidak benar-benar penting.
Kakaknya itu menghabiskan seluruh waktu nya hanya di dalam kamar, dan bergelut dengan buku-buku yang dipenuhi oleh rumus-rumus. Cukup monoton, bukan?
Ini Sayra Mayla, dan hidupnya bukan tentang belajar saja. Ia menyukai ruang bebas, dimana dia bisa melakukan apa pun dengan kehendak nya sendiri tanpa diatur oleh orang lain. Mungkin, ini juga alasan orang tuanya tidak lagi memperdulikan dirinya, karena terlalu sering membantah.
Disaat ia sedang melamun, Saira dikejutkan oleh sesuatu yang dingin menempel di pipinya. Gadis itu menoleh, mendapati sosok pemuda berkaos hitam polos setengah berjongkok ke arahnya sambil tersenyum.
"Gak baik sendirian di sini." kata pemuda itu akhirnya, sebab Saira masih memandang bingung pemuda itu. "Lo pelakunya kan?"
Tiba-tiba seluruh kesadaran Saira berkumpul, dia ingat perihal kunci mobil yang ia sembunyikan di dalam kolong mejanya di kelas. Ternyata, dia berhasil menemukannya?
"Rekaman CCTV sekolah yang bantu gue nemuin pelaku yang telah menyembunyikan kunci mobil gue dengan sengaja." Pemuda itu tertawa kecil, barangkali sedang menghina Saira dari nadanya yang barusan. Cowok itu kemudian duduk di sebelah Saira, botol minuman dingin yang dia tempel ke pipi Saira tadi dia letakan di sebelah kirinya. Sebagai penghalang jarak antara ia dengan gadis pencuri ini.
"Masih dendam ke gue, ya?" Cowok itu kembali tertawa kecil, seraya mengangguk-anggukan kepala. "Padahal perkara di hukum, itu masalah kecil."
Saira terkekeh sinis. "Perkara kecil lo bilang? Lo tau gak gara-gara mulut lo yang super ember itu, gue sampai telat pulang. Anjing."
"Wow, kasar." Dia menatap Saira, dengan pandangan kaget yang tampaknya dibuat-buat. Lalu dua detik setelahnya, pemuda itu tertawa. Kali ini lebih lepas daripada sebelumnya. Pandangannya belum jua beralih dari netra Saira. "Tapi biasanya cewek yang suka ngomong kasar itu asik loh orang nya..."
Saira memalingkan wajah, risih atas kehadiran cowok tak diundang itu. Sedang, pemuda itu justru bersikap santai. Seolah-olah dia sudah mengenal gadis ini lama, dan bukan baru beberapa hari ini.
"Kenapa diam?"
"Lo siapa sih?!" Emosi Saira. "Sok asik banget lo sama gue!"
Pemuda itu terkekeh seraya menyugar rambutnya ke belakang. "Oh, kita belum kenalan ya?" Dia lantas mengulurkan tangannya pada gadis itu, meskipun sudah bisa ditebak bahwa gadis ini pasti tidak akan menerima uluran tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
PHILOCALIST
Genç Kurgu"Gue nggak suka cewek pembangkang, Ngerti?!" Azfansadra Deliano--seorang vokalis sebuah band kebanggaan SMA Santana. Katanya, ia memiliki suara merdu yang mampu menghipnotis setiap penonton yang menyaksikan band kebanggaan SMA Santana tersebut. Sel...