21. Dewi Pembunuh Midgard

344 50 3
                                    

Pukul jam sebelas malam, Valhalla. [Y/n] menatap lesu pedang kayu sepanjang 110 sentimeter yang ia genggam. Ia memasang kuda-kuda, mulai kembali latihan di tengah dinginnya salju malam yang tiba sejak pukul tujuh. Dirinya yang hanya memakai pakaian lusuh satu lapis, terus-menerus menghembuskan napas yang mengepul. Dadanya terasa semakin sakit, hidung terasa perih, tetapi ia rasa, ia harus terus latihan.

Tak ada rasa kasihan, bagi dirinya yang tak diinginkan. Ia adalah manusia yang menyedihkan. Yang tak pantas diberi kasih sayang. Yang tak pantas dianggap ada.

Namun, di sisi lain, ia menginginkan segalanya yang makhluk lain miliki. Ia ingin mendapatkan kasih sayang, ia ingin mendapatkan pujian, dan ia ingin menjadi orang yang berharga. Bagaimana rasanya dicintai orang lain? Bagimana rasanya diperhatikan orang lain? Seluruh perasaan menyakitkan, mencambuk punggung manusia nahas itu.

"Latihan! Latihan! Kuat! Kuat! Aku harus kuat!" seru [Y/n], setiap mengayunkan pedang. Ia terus mengucapkan kata yang sama, mengusir jauh-jauh pikiran negatif. Hingga matanya yang memiliki jarak pandang nan luas, mendapati seorang anak sejauh sepuluh meter dari arah kiri, yang sedang tergesa-gesa.

Ia mengernyit, lantas berlari cepat mengejar Mallory yang baru saja meninggalkan Istana Odin. Ujung kakinya mendorong tanah, menimbulkan loncatan menengah yang membuat ia lebih cepat sampai kepada Mallory.

"Kau mau ke mana, Kak?" tanya [Y/n], ia berlari bersebelahan dengan Mallory.

Dewi Pembunuh Midgard itu menggertak gigi, tangan kirinya mengambil pedang gram yang terbalut sarung pedang sakral. Nan berada di sisi kanan pinggang. Mallory mengibas pedang itu ke arah [Y/n].

"Jangan halangi aku!" seru Mallory. [Y/n] mendelik, dirinya mundur, menghindari kibasan pedang sang dewi. Tangan kanan [Y/n] yang memegang pedang kayu pun berubah menjadi posisi siap untuk bertahan. [Y/n] tahu, posisinya kini tak aman, sekali pun Mallory sudah ia anggap kakak. Jika dia menyerang, maka [Y/n] takkan mau mengalah. "Aku ingin menemui orang tuaku!"

"Kak Mallory! Kita tidak memiliki orang tua!" bantah [Y/n]. Mallory mendecih, ia menyerang [Y/n] dan mematahkan pedang anak yang selama ini ia anggap adik, dengan mudah.

Wajar saja, pedang yang dipegang [Y/n] tak ada tandingannya dengan pedang gram milik Mallory.

"Hanya Kau saja yang tidak memiliki orang tua, dasar rendahan! Memang siapa yang mau jadi saudarimu? Kau dibawa Tuan Odin ke Valhalla hanya karena dia kasihan kepadamu! Mengapa Kau tidak mati dan tinggal di Helheim saja?" seru Mallory. "Aku akan mengirimmu ke sana, [Y/n]! "

Tatapan [Y/n] menajam. "Helheim, Helheim. Kau ... selalu saja berkata seperti itu kepadaku. Memangnya kenapa jika aku dikirim ke sana? Memangnya aku tak bisa membawamu juga, Kak?"

"Tidak akan bisa!" seru Mallory, mengayunkan pedang gram ke samping.

Insting [Y/n] yang kuat, membuat ia merunduk dalam-dalam. Sambil menunduk, ia berlari. Kedua tangannya terbuka, memeluk perut Mallory hingga terjatuh. [Y/n] yang cepat-cepat menduduki perut Mallory, berusaha mengambil pedang gram dengan tangan kiri.

Dewi Pembunuh Midgard yang enggan kalah, mendorong kuat-kuat pedang yang ia genggam. Hingga tangan [Y/n] terlepas dari pedang milik Mallory. Lantas Mallory menodongkan ujung pedang, ke leher sang adik.

Bibir Mallory meringis, merayakan kemenangan.

Bergerak, berarti bunuh diri. [Y/n] tahu itu, ia sangat tahu. Lantas bagaimana cara keluar dari zona berbahaya saat ini?

Perseteruan saudari itu, seketika tertunda oleh sebuah tombak mahakuasa yang membingkas ke arah mereka. Tombak itu melalui kepala mereka, lantas tertancap di tanah. Hanya dalam sepersekian detik. Jika saja [Y/n] bergerak atau Mallory bangkit, mungkin saja mereka sudah tewas.

✔ Is This Destiny? [ Hades X Reader] || Record of RagnarokTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang