𓂃。⋆ selamat membaca ⋆。𓂃
Mika
Aku suka menggambar. Aku menggambar apa yang aku lihat di depanku termasuk wajah manusia. Mungkin kemampuan menggambar adalah satu-satunya kelebihan yang Tuhan anugrahkan kepadaku. Ketika sebagian teman-teman sekelasku pergi ke kantin, aku lebih memilih berdiam diri di kelas dan melakukan hobiku.
Rasanya nggak lengkap jika Arki nggak mengusikku. Sejak pagi dia nggak ada di kelas, tetiba muncul entah dari mana dan menyenggol tanganku, sehingga garis yang aku bentuk meleset dari jalur seharusnya.
Aku berdesis tajam, dan melemparkan tatapan kesal pada Arki. "Bisa diem, nggak?"
Arki cukup terkejut ketika aku membentaknya. Dia pikir aku hanya akan diam seperti orang bodoh ketika terus-terusan ditindas? Sependiam-pendiamnya aku di mata orang-orang, aku nggak sediam itu ketika diperlakukan nggak pantas oleh orang lain. Lagian, hanya orang yang nggak kenal aku saja yang menganggap aku pendiam. Kebetulannya, nggak ada yang kenal aku dekat seperti Willa mengenalku.
Arki mengedikan bahu nggak acuh. Ia malah meraih tasnya dan keluar dari kelas. Sudah mah dari pagi absen, dan sekarang orang itu malah pergi seenaknya. Padahal sekarang sudah kelas 12, hanya ada sedikit waktu untuk mempersiapkan segala macam ujian, termasuk ujian masuk universitas.
"Ck! Ck! Ck! Arki mau kemana lagi ya? Padahal udah mau masuk." Willa baru saja datang sambil geleng-geleng kepala setelah melihat kepergian Arki. "Enak ya kalau udah punya masa depan yang pastinya mentereng, mau nakal juga nggak perlu khawatir nantinya mau jadi apa," ujarnya lagi.
Aku mengetahui satu fakta tentang Arki, yang sejak dulu sudah menjadi rahasia umum. Dia adalah cucu dari pemilik salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Benar kata Willa, masa depannya sudah pasti mentereng. Arki nggak perlu khawatir karena ujung-ujungnya Arki bakalan jadi dokter dan bekerja di rumah sakit kakeknya.
Selain ganteng dan kaya? Apalagi yang Arki miliki? Pintar? Oh ya, aku selalu penasaran kenapa Arki sering masuk peringkat 10 besar padahal dia jarang masuk kelas. Otaknya memang sudah di-setting sepaket bersama ketengilannya dengan porsi lebih.
Selain itu, ada yang membuatku lebih penasaran, atau mungkin bukan hanya aku yang penasaran. Kenapa Arki lebih memilih sekolah di Bandung ketimbang di Jakarta? Yang mungkin sekolahnya lebih bagus dan elit daripada SMA Garwana.
"Aku denger gosip, katanya Arki kena masalah waktu di Jakarta. Makanya dia disekolahin di Bandung, supaya Arki nggak merusak nama baik kakeknya," kata Willa.
Willa mengatakan itu saat kami baru kelas 10. Saat itu terdengar gosip-gosip aneh tentang Arki yang sampai sekarang nggak dapat klarifikasi dari orangnya. Karena tampang gantengnya yang luar biasa, banyak sekali dari para siswi yang penasaran, akhirnya mencari-cari fakta tentang Arki. Namun, aku sebenarnya nggak peduli karena nggak berdampak juga pada hidupku. Mau dia anak presiden atau anak siapapun, terserah, nggak ada urusan denganku.
Sore ini, aku melakukan rutinitas mingguanku. Setidaknya satu minggu sekali aku akan berada di dekat danau sambil menggambar dan menikmati matahari tenggelam dari upuk barat. Sore-sore begini, taman yang dirancang indah dengan bunga-bunga di dekat danau kecil dengan air mancur, ramai pengunjung. Tapi aku malah senang dengan hal itu.
Di tempat ini aku bisa merasakan berbagai macam kebahagiaan orang-orang. Di atas rerumputan hijau dekat pohon ada yang sedang menggelar tikar, piknik keluarga. Di sisi danau ada anak kecil yang sedang difoto oleh orang tuanya. Di sudut lain pun ada yang sedang bermesraan dengan pasangannya. Dan ada banyak lagi selain itu. Aku iri dengan mereka, karena aku nggak pernah merasakan kebahagiaan macam itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Makna "Kita dan Luka"
Teen FictionMika dan Arki awalnya adalah manusia yang berjalan di jalannya masing-masing. Tak akrab meskipun berada dalam satu kelas yang sama, tapi pada tahun terakhirnya bersekolah di SMA Garwana, mereka baru akrab menjadi kawan berbincang. Saling memeluk ke...