"Sekarang katakan. Kau ingin istrimu hidup atau memilih opsi kedua?"
Rintik hujan membasahi pualam. Lubang menganga——berukuran selebar bola——di atap bangunan itu membuat tangis angkasa mampu menerobos masuk. Lantai kotor yang tak terjamah selama bertahun-tahun itu ditumbuhi lumut, jamur menjadi penjelas atas tidak terawatnya bangunan yang ditinggalkan.
Enam pria berdiri di sana——berhadapan masing-masing tiga orang disetiap kubu. Di bawah atap seng yang sudah berkarat, saling bertatapan di tengah gerimis di daerah Amagasaki. Tiga pria memakai jas hitam lengkap. Dasi berwarna biru gelap mengitari leher, sepatu pantofel ketiganya menapak pada kotornya lantai marmer. Parfum mahal yang menempel di jas telah membaur menjadi satu dengan aroma apak dan berdebu ala bangunan terbengkalai.
Sementara tiga pria lainnya memakai pakaian serupa, namun dasinya berwarna merah padam——seolah menunjukkan betapa membaranya ambisi mereka, hingga menculik paksa istri lawan mereka.
Ah, tidak.
Hidan tidak akan menggunakan kata 'paksa', sebab wanita itu datang sendiri atas kebodohannya.
Hidan berdiri di belakang kursi tempatnya menyandera istri salah seorang petinggi, dua bawahannya berdiri di belakangnya. Seraya menarik sebelah sudut bibirnya ke atas——memberi senyum ejekan——ia melonggarkan ikatan dasi merahnya.
"Jadi, mana yang kau pilih, Namikaze Naruto?"
Hidan melontarkan pertanyaan kedua, masih memiliki sedikit kesabaran untuk tidak menarik pelatuk di dalam saku.
Namikaze Naruto berdiri sepuluh langkah di depannya dengan wajah tenang. Tidak peduli sedikitpun pada dua orang di belakang Hidan——penyembah setan itu——yang menodongkan pistol ke arahnya. Naruto justru menatap arloji di pergelangan tangan, menghitung berapa menit dalam hidupnya yang terbuang sia-sia untuk datang kemari.
Untuk datang menyelamatkan istrinya.
Istrinya yang keparat.
Shikamaru dan Kiba melakukan hal serupa layaknya ajudan Hidan. Melindungi pria pirang itu adalah prioritas utama. Lebih penting daripada nyawa mereka sekalipun.
Satu tembakan meluncur di udara. Shikamaru dan Kiba mengeratkan cengkeraman pada alat pencabut ajal ketika seng di atas mereka sudah berlubang. Hidan penembaknya. Pria berambut hitam itu tertawa muak, gelegarnya mengalahkan hujan yang kian deras. Satu tembakan kembali terlontar, mengenai seng lagi, tanda bahwa kesabarannya mulai surut.
"Aku tidak ingin bermain-main, Namikaze. Katakan pilihanmu atau——" Hidan menempelkan moncong pistol ke kepala wanita yang duduk di kursi, seulas senyum culas terpatri di wajah 29 tahunnya. "Kepala istrimu berlubang."
Mata serupa saphire itu melirik sang istri. Shion duduk di kursi kayu yang terlihat rapuh. Kedua tangannya terikat ke belakang, bibirnya di lakban, kakinya dilingkari tali. Pakaiannya terlihat compang-camping, beberapa bagian sobek——terutama di bagian dada dan paha——menampakkan asetnya yang mulus tanpa secuil noda.
Naruto diam, tidak bereaksi apapun selain berkedip.
"Naruto, tolong aku!"
Shion berteriak setelah lakban itu ditarik Hidan dari sisi kanan. Mengabaikan rasa sakit yang mendera bibirnya, ia berteriak histeris pada sang suami. Menangis, meneriakkan puluhan permintaan tolong, berharap bila Namikaze Naruto menyelamatkannya dari pria di belakangnya——pria asing yang membawanya kemari.
"Tolong aku! Akan aku lakukan apapun as——"
"Berhenti." Naruto memotong, keningnya sedikit mengerut saat melihat air mata Shion. "Tutup matamu, Shion."
![](https://img.wattpad.com/cover/313722740-288-k535.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice [ END ]
FanfictionKehidupan Namikaze Naruto terbilang sempurna dimata orang-orang. Pria itu mapan, wajahnya tampan, karirnya cemerlang diusia dua puluhan. Namun, sebagaimana dunia yang memiliki siang dan malam, pria itu memiliki sisi kelam yang dipendam. Naruto menge...