6 : Fire of vengeance

1.7K 321 21
                                    

Hari ketujuh berlalu dengan peristiwa-peristiwa kecil diantara keduanya. Hinata masih merawat Naruto Dengan senyum tulus, mengabaikan ucapan Naruto hari itu yang menyakiti perasaannya.

Mereka berdua duduk di sofa. Televisi selebar 55 inci di depannya menampilkan sebuah telenovela yang belakangan ini sedang naik daun. Awalnya, hanya Hinata saja yang menonton, kemudian Naruto menyusul duduk di sampingnya sebab mengaku bosan berada di kamar sepanjang hari.

Pria itu memakai kaus berlengan pendek, menutupi perban yang masih membungkus bahunya. Naruto sudah bisa memasang perban dan mengusapkan salep sendiri, tidak memerlukan bantuan Hinata lagi, namun terkadang istrinya itu tetap kukuh untuk membantu.

Bekas luka goresan pisau maupun peluru di lengannya sudah terekspos. Naruto tidak menutupinya lagi seperti di awal pernikahan, sebab Hinata sudah melihat bekas luka di sekujur tubuhnya. Beruntung gadis itu bukan seseorang yang cerewet, sehingga Hinata tidak menanyakan apapun lagi setelah ia mengelak dari pertanyaannya tempo hari.

"Kalau mengantuk, tidur duluan saja, Naruto."

Naruto tertawa pelan, seharusnya Hinata mengatakan itu pada dirinya sendiri. "Sejak tadi kau terus-terusan menguap, Hinata." Naruto menatap jam dinding, sudah pukul sebelas malam lebih. Ini pertama kalinya ia terjaga selarut ini bersama Hinata. "Matikan televisinya dan pergilah ke kamar."

Hinata menutup mulutnya yang terbuka——menguap. Matanya yang memerah tetap tertuju pada layar televisi. "Jika aku tidur, apa yang kau lakukan?"

"Tidur juga."

"Kau bohong. Kemarin kau mengatakan hal yang sama dan aku memergokimu mengopi di dapur."

Lagi-lagi, tawa Naruto mengudara akibat gerutuan Hinata.

Satu minggu penuh yang Naruto habiskan di rumah——bersama Hinata——membuatnya tahu bahwa istrinya benar-benar bukan perempuan bermasalah. Hinata tidak pernah mengumpat, menghardik, maupun berteriak saat marah. Tempo hari saat ia tidak sengaja menjatuhkan masakan Hinata, gadis itu justru tersenyum dan membereskannya. Tidak ada gerutuan sama sekali.

Hinata benar-benar perempuan yang baik.

Gadis itu selalu merawatnya tanpa sekalipun mengeluh. Tujuh hari bukanlah waktu yang singkat untuk mengurus seorang yang sakit seperti dirinya. Bukan hal mudah pula sebab yang terluka adalah bahu kanannya, sementara seluruh aktifitasnya menggunakan tangan kanan. Dan dalam sepekan ini, Hinata selalu menjadi tangan kanannya dalam melakukan segala hal.

Mungkin, sebab itulah Naruto ingin mengenal Hinata——sedikit——lebih jauh lagi. "Sebentar lagi usiamu 23 tahun, bukan?"

Hinata mengangguk pelan, atensinya tertuju ke arah Naruto sepenuhnya. "Iya. Bagaimana kau tahu?"

"Aku mengingat tanggal lahirmu."

Dari biodata yang dikirimkan Shikamaru.

Raut wajah Hinata berubah ceria seketika. Rasa kantuknya perlahan sirna, ujaran Naruto tak pelak membuatnya merasa di perhatikan. Semenjak Naruto sakit, sikap suaminya itu memang sedikit berubah dibanding saat awal-awal pernikahan.

Dulu, Naruto akan berbicara secukupnya saja. Atau bahkan tidak berbicara sama sekali jika ia tidak memulai percakapan. Pria itu juga menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja; berangkat pagi-pagi sekali dan ketika pulang, kadang ia sudah terlelap. Nyaris tidak ada interaksi antara dirinya dan Naruto, mereka sama halnya dua orang asing yang ditempatkan disatu rumah.

Tapi sejak ia merawatnya, sikap Naruto berubah secara perlahan. Pria itu akan buka suara lebih dulu jika ia terlalu sungkan untuk bercakap-cakap. Naruto juga memberinya secuil perhatian yang tidak pernah ia dapat. Seperti melarangnya minum kopi berlebihan, melarangnya begadang, menegurnya jika ia telat makan, dan beberapa hal sepele lainnya.

Sacrifice [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang