11 : Unstable

1.9K 362 73
                                        

Naruto pikir, dengan mengabaikan Hinata maka perasaannya akan lenyap. Tujuh hari tidak berbicara dengan gadis itu membuatnya yakin bahwa perasaannya akan sirna. Perasaan ini hanya perasaan sesaat, jika dipelihara hanya akan menimbulkan sesuatu yang lebih sesat.

Cinta.

Hal sesat itu hanya akan menimbulkan kesumat.

Naruto berulangkali menyakinkan diri bahwa ia sanggup hidup tanpa Hinata, ia sanggup mengorbankan Hinata, ia sanggup menembak jantung Hinata. Gadis itu tak ubahnya tumbal yang sebentar lagi akan mati, ia tidak boleh jatuh hati pada mangsa yang hendak ia tusuk menggunakan pisau pati.

Namun, takdir memang sekonyol ini.

Naruto juga enggan memiliki perasaan memuakkan semacam ini——perasaan cinta——perasaan menjijikkan yang menggerogoti hati manusia. Naruto tidak sudi untuk sekadar mencicipinya, atau bahkan mencoba masuk ke dunia dimana nalurinya dilemahkan. Selama 26 tahun hidup, Naruto selalu membentengi diri agar tidak terhasut. Perasaan pada lawan jenis selalu ia tepis agar tujuannya tidak goyah. Namun, kali ini Naruto salah mengambil pijakan, hingga terperosok pada jurang cinta atas nama Hyuga Hinata.

Ketika Naruto sadar bahwa ia mulai mencintai istrinya, ia segera menjaga jarak——mengabaikan Hinata sepanjang hari agar perasaannya pergi. Tetapi anehnya, ia justru memberi perintah pada Naomi untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga, yang sebenarnya bertugas untuk menjaga Hinata.

Naruto mencoba lari dari fakta bahwa ia sudah terlena. Tapi sejauh langkah yang ia pijak, perasaannya justru terinjak ketika melihat Hinata tertawa bersama pria lain.

Tawa Hinata yang bahkan tidak pernah ditujukan untuknya.

Naruto duduk di sofa dengan kalut. Arlojinya menunjukkan pukul tiga sore, namun Hinata tidak juga pulang dari cafe. Dalam gejolak pikiran yang resah, Naruto sangat berharap bila ponselnya berdering, dan Genta menghubunginya seraya berkata,

"Saya telah membunuhnya."

Naruto mengusap wajah. Hinata membuatnya gila.

•••


"Dari mana saja?"

Kedua bahu Hinata menegang. Tubuhnya berbalik secara perlahan, menatap Naruto yang berdiri di depan pintu kulkas. "Dari cafe, bertemu temanku," jawabnya lirih.

Tidak biasanya pria itu pulang seawal ini. Terlebih, Hinata yakin 100 persen jika jarum jam masih menunjuk angka empat. Normalnya Naruto pulang enam jam lagi——di jam sepuluh malam——saat ia sudah terlelap di peraduan.

Hinata melirik takut ketika netra serupa saphire suaminya menajam, menatapnya dengan alis mengerut seolah ia melakukan kesalahan. Meski ia senang lantaran Naruto akhirnya membuka suara setelah sepekan membisu, ia justru dibuat takut akan nada menusuk yang suaminya ucapkan.

"Bertemu teman?"

Nadanya tidak terdengar seperti pertanyaan, tapi lebih menyerupai sebuah sindiran.

Hinata mengangguk pelan, ia memang pergi ke cafe untuk bertemu Sakura. Hanya saja Sakura tidak kunjung tiba, ia juga terlarut dalam obrolannya dengan Sasuke hingga lupa waktu. Hingga pada jam empat tadi, ia memutuskan untuk pulang sebab Sakura tidak datang. Sasuke tadi masih di sana, katanya masih harus menyelesaikan suatu urusan.

"Temanmu seorang laki-laki?"

Sepatu pantofel Naruto berjalan mendekat. Langkah demi langkah tercipta di lantai, suaranya hentakan antara dasar pantofel dan permukaan marmer membuat Hinata gelisah. Gadis itu ketakutan tanpa sebab, aura mengerikan di sekeliling Naruto membuatnya menelan ludah dengan kasar.

Sacrifice [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang