"Kau baik-baik saja?"
Hinata mengangguk kikuk kendati selangkangannya terasa perih luar biasa. Ia menyusul Naruto untuk duduk di sofa, pria itu menepuk permukaannya——mengisyaratkannya untuk mengambil tempat di sana. "Aku baik-baik saja, Naruto," ujarnya saat Naruto terlihat mencemaskannya.
Naruto tahu bahwa pengalaman pertama jelas menyakitkan. Darah yang merembes ke seprainya tadi malam adalah pertanda bahwa Hinata belum terjamah hingar-bingar dunia. Perempuan itu masih suci dan bersih, tidak terjerumus pergaulan bebas seperti keempat istrinya yang lain——sebuah hal yang pernah ia ragukan diawal mengenal Hinata.
"Tidak usah melakukan apapun. Aku bisa memanggil Naomi lagi." Naruto berujar, netranya yang laksana tumpahan tirta mengungkapkan kecemasan. Enggan melihat istrinya mendesis kesakitan tiap kali berjalan.
Naomi diliburkan untuk sementara waktu semenjak ia mulai berbaikan dengan Hinata. Perempuan yang berusia sama dengan Hinata itu tengah menjalankan pekerjaan lain bersama Nagato di Itama. Setelah Naomi menyelesaikan tugas pembantaiannya, ia akan menempatkannya lagi untuk menjaga Hinata.
"Tidak perlu, Naruto. Rasa sakitnya akan segera hilang, kok," ujarnya sembari tertawa pelan, meski tidak tahu apa ucapannya benar. "Kau tidak berangkat bekerja? Sudah jam tujuh lebih, kau bisa terlambat."
"Aku ingin di rumah saja. Menemanimu, memastikan kau aman." Naruto mengusap wajah istrinya yang merona, kemudian menarik sudut bibir saat Hinata tidak berani menatapnya. "Yang semalam ... terima kasih."
"A-apa, sih?" Hinata berdiri dan berniat pergi, wajahnya bisa dipastikan memerah pekat seandainya masih berada di sini. Naruto itu terlalu kurang ajar jika sudah berbicara; suka mengatakan hal vulgar——dengan ekspresi tenang——tanpa tahu letak kesalahannya.
Namun, Naruto ingin menghabiskan sedikit waktunya di pagi hari bersama Hinata, hingga tangannya mencekal pergelangan sang istri. "Kau mau kemana?"
"K-kemana saja asal——"
Hinata jatuh terduduk di pangkuan Naruto, wajahnya merah merona.
"Di sini saja, Hinata," ujar pria itu, tangannya merayap pada tubuh Hinata yang duduk menyamping di pahanya. Ia menariknya mendekat, memeluknya, kemudian meletakkan kepalanya di bahu Hinata. "Aku ... ingin seperti ini saja."
Berada di sampingmu tanpa takut kehilangan
Naruto menyembunyikan kekalutannya di sana, perkara Black Eye masih belum reda. Plan A yang berakhir lancar bukanlah akhir dari permasalahannya dengan keturunan Uchiha. Ini hanya sekadar dugaan, namun terlintas satu pikiran bahwa yang selama ini memimpin Black Eye adalah Uchiha Sasuke. Uchiha Itachi hanya topeng untuk menutupi identitasnya belaka.
Pola teror yang terjadi setelah kematian Itachi hampir mirip dengan saat ia bersinggungan langsung dengan Black Eye beberapa tahun silam. Uchiha Sasuke jelas yang memberi perintah agar Hades di runtuhkan secara perlahan, seolah tidak puas akan dendam yang terus berlanjut hingga detik ini. Namun, Naruto tidak sedikitpun gentar. Sebab yang memantik api permusuhan adalah Black Eye——dengan menyalahi isi perjanjian bersegel.
Hanya saja, kehadiran Hinata membuat kegentarannya bangun dari peristirahatan.
Naruto tentu tidak dapat mengulang apa yang selama ini ia lakukan; membunuh istri-istrinya demi keselamatan Namikaze Kushina. Selama dua tahun kebelakang, yang membuatnya mampu menembak mati istrinya adalah sebab mereka semua menusuknya dari belakang. Tapi Hinata berbeda. Hinata mengaku mencintainya, ia pun memiliki perasaan yang sama. Tidak mungkin bila ia membunuh Hinata, namun di satu sisi keselamatan ibunya dan Hades akan terancam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sacrifice [ END ]
FanfictionKehidupan Namikaze Naruto terbilang sempurna dimata orang-orang. Pria itu mapan, wajahnya tampan, karirnya cemerlang diusia dua puluhan. Namun, sebagaimana dunia yang memiliki siang dan malam, pria itu memiliki sisi kelam yang dipendam. Naruto menge...