18 : Decisions and tears

1.6K 314 50
                                    

Tiga hari berlalu tanpa kehadiran Naruto. Pria itu tidak pernah datang lagi semenjak hari itu. Ayahnya bilang jika Naruto tidak lagi peduli padanya. Katanya, Naruto mencampakkannya karena takut ia melapor ke polisi tentang kasus penembakan.

Hinata jelas menyangkal. Meski Naruto pernah mengabaikannya seminggu penuh, Naruto bukan tipe orang yang akan lari dari masalah. Terlebih, sebelum ayahnya datang, Naruto tidak sedikitpun menyinggung atau memintanya tutup mulut atas kejadian itu——penculikan dan penembakan——seolah Naruto tahu bahwa ia tidak akan melapor.

Ayahnya jelas berbohong. Naruto pasti tidak mengunjunginya karena dilarang oleh ayahnya. Hinata tahu bagaimana marahnya sang ayah akibat ia yang terbaring di rumah sakit. Hinata pun tidak merasa aneh jika ayahnya bersikap overprotective——dengan cara menjauhkannya dari Naruto. Tapi, yang menjadi masalah adalah——

Ayahnya tidak menerima penjelasan mengenai alasan Naruto menembaknya. Sekeras apapun Hinata meyakinkan sang ayah bila Naruto tidak berniat menyakitinya, semakin keras pula larangan ayahnya untuk mengizinkannya bertemu Naruto.

"Namikaze Naruto pasti mempengaruhi pola pikirmu. Kemana sikap lembut dan penurutmu selama ini, Hinata?"

Dengan kalimat seperti itulah ayahnya mematikan topik pembicaraan. Hingga akhirnya, Hinata hanya bisa duduk diam seraya meratapi keadaan.

"Nona Hinata?"

Hinata menoleh pada pintu kamarnya yang terbuka. Seorang perempuan berpakaian ala maid berdiri di sana dengan memegang sebuah nampan. "Nyonya Namikaze," koreksinya. Izana yang memanggilnya nona——panggilan bagi seorang perempuan yang belum menikah——membuatnya sedikit tersinggung. "Ada apa?"

Izana yang bekerja sebagai pembantu keluarga Hyuga itu meminta izin untuk masuk, namun langkahnya terhenti saat Hinata melarangnya. "Saya ingin mengantarkan makan siang," ujarnya dengan segan, ia melirik sarapan di atas nakas yang belum tersentuh.

Majikannya menolak makanan lagi, sama seperti kemarin.

"Anda harus mak——"

"Aku tidak berselera." Hinata memotong, kemudian melempar tatapan ke luar jendela. "Tolong keluarlah, Izana."

"Tapi Nona Hin——"

"Aku masih bersuami."

Izana menelan ludah. Perangai atasannya berubah menjadi lebih tegas, tidak seperti Hyuga Hinata yang ia kenal. "B-bukankah sebentar lagi saya akan memanggil anda Nona?" tanyanya takut-takut. Mangkuk di atas nampan bergetar saat Izana sadar atas kelancangannya. "M-maaf, saya——"

"Apa maksudmu?" Kening Hinata mengerut.

"T-tidak——"

"Aku memiliki kewenangan untuk memecatmu," ujar Hinata, ranjangnya yang empuk tak lagi terasa nyaman. "Apa maksud perkataanmu, Izana?"

Mata perempuan berambut coklat itu bergerak gelisah. Izana memberanikan diri menatap Hyuga Hinata, namun atasannya melemparinya tatapan tajam. "T-tuan Hiashi mengatakan jika——"

Izana menelan ludah lagi.

"——Anda akan segera bercerai."

•••

Polisi itu mengernyit heran pada seorang pria yang tiba di depannya sepuluh menit lalu. Pria itu memiliki rambut hitam panjang, matanya berwarna keperakan, sementara pakaiannya terlihat lusuh——seolah kerap terjatuh di tanah.

Neji tetap meracau, mengatakan segala hal yang ia ketahui tentang Uchiha dan Namikaze——walau dibumbui dengan sedikit kebohongan——agar kedua keparat itu dihukum dengan seberat mungkin. "Mereka membunuh orang! Anda tahu'kan berita kematian petinggi-petinggi Uchiha tempo hari?! Uchiha Sasuke yang membunuhnya! Dia mengkambinghitamkan saya sehingga nyawa saya terancam!" pekiknya hingga napasnya habis. Ia melirik ke segala arah, takut bila orang yang mencarinya tiba-tiba datang kesini. "Namikaze itu juga membunuh orang! Dia meledakkan markas Uchiha sehingga membunuh——"

Sacrifice [ END ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang