•••
Hari itu, selayaknya hari-hari lain di bulan Desember. Hujan senantiasa turun. Membawa rindu yang tak kunjung didekap, pun membawa kenangan yang masih pahit disesap. Tepat di bawah pohon ketapang dan duduk di kursi bebatuan, Kanna menunggu kedatangan Juan dengan perasaan sendu yang tak terbendung.
Perempuan itu mendongak ke atas, kemudian dilihatnya awan keabuan, semesta seolah ikut menyuarakan perasaannya kelabunya. Kanna menarik napas panjang, berusaha menyiapkan diri untuk melepas Juan mulai saat ini.
Hiruk pikuk orang-orang berseliweran di depan mata. Melihat beberapa pasang kekasih yang saling menggenggam tangan, yang saling bersendau gurau, membuat hati Kanna seakan diremas. Rasanya ia iri, mengapa Kanna tidak seberuntung pasangan yang lain yang semesta restui?
Kanna menunduk, menatap sepatu converse putihnya. Lalu tak lama kemudian, sepasang sneakers merah bata berhenti tepat di depannya. Kanna lantas mendongak, menemukan kehadiran pemuda yang ia tunggu-tunggu sedari tadi. Juanda Wira Mahanta.
"Ju?"
Juan menaikkan alisnya terkejut, ia lantas memegang bahu Kanna dan bertanya dengan nada khawatir. Bagaimana Juan tidak panik jika pacarnya itu kelihatan sangat tidak baik-baik saja? Mata dan hidung yang memerah, kantung mata kehitaman tanpa celah, bibir pucat yang tidak dia oles pelembab, pun rambut yang dicepol asal.
"Na? Ada apa? Kenapa mata kamu sembab begitu? Siapa yang nyakitin kamu? Nawa? Mama? Bilang, Na!"
Kanna buru-buru menyeka air matanya, ia menyunggingkan senyum tipis ketika mendapati reaksi Juan. Kanna sempat berpikir, apakah nanti ia akan menemukan seseorang selain Juan yang sangat amat pengertian? Apakah ada?
"Duduk dulu, Ju. Ada banyak hal yang pengin aku katakan sama kamu."
Juan kemudian duduk di depan Kanna. Bersekat oleh meja bundar. Berjarak, seolah melatih diri masing-masing bahwa akan ada jarak yang terbentang lebih jauh daripada ini.
Mata Juan masih terpaku dan tatapannya seakan bertanya-tanya, sebenarnya apa yang terjadi? Mendadak, perasaan Juan tidak enak sama sekali. "Kenapa, Na?"
"Aku mau berterima kasih, Ju." Kanna menggigit bibir bawahnya. Ia berusaha menghindari kontak mata dengan Juan, karena sungguh ia sedang menahan tangisnya mati-matian.
"Selama satu tahun lebih kenal dan beruntung bisa dijagain sama kamu, aku bener-bener berterima kasih. Aku nyuruh kamu ke sini karena aku mau pamit--"
"Kanna? Kamu ngomong apaan sih? Ini sebenernya ada apa?!" Juan sontak mengernyit, bertanya dengan nada panik. Ia kemudian beranjak, lantas bersimpuh di depan Kanna dan memegang erat tangannya.
"Aku sadar, ternyata enggak ada orang lain yang bener-bener sayang, jagain, dan perhatian sama aku kecuali kamu. Dari kecil, keluarga aku emang berantakan, Ju. Kemudian kamu mengenalkan aku hangatnya keluarga lewat mama kamu. Hari-hari selama setahun lebih ini adalah hari yang paling membahagiakan. Maaf kalau selama ini aku suka ngerepotin, aku nyebelin, aku gampang marah, dan aku cengeng. Cerita yang kita rajut kemarin akan aku taruh dalam ruang tersendiri di hati aku. Makasih, ya, Ju? Setelah ini aku akan pergi. Aku mau pamit." ujar Kanna dengan mata berkaca-kaca. Menarik napas tercekat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau Rumahku, Ju
Teen Fiction❝Rumah bagiku bukan selalu tentang bangunan, Ju. Tapi siapa yang bersedia menampungku saat jatuh terluka selusuh-lusuhnya. Dan rumahku adalah kamu.❞ Rumah Kanna porak poranda semenjak papa dan mamanya memutuskan bercerai, lalu Juan datang memberinya...