24. Wejangan Bapak

195 16 2
                                    

Dalam keheningan itu, alam bawah sadar membawa Juan pada waktu di mana hidupnya terasa baik-baik saja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dalam keheningan itu, alam bawah sadar membawa Juan pada waktu di mana hidupnya terasa baik-baik saja. Aroma kue buatan mama menari-nari di udara bersama harumnya kopi bapak, suara motor yang bersahutan, lengkingan para penjual yang mencari nafkah pagi buta dan tak lupa ia yang selalu kelabakan karena takut terlambat sekolah.

Biasanya kalau sudah putus asa mencari kaos kaki yang salah satunya pasti tidak ada, Juan akan memanggil Mama, merengek karena tak kunjung mendapatkan apa yang dia cari.

"Maaahh, lihat kaos kaki putihnya Juan nggak?"

"Ya Allah dek, itu kan udah Mama lipat di laci lemari." Mama yang sedang mencuci piring buru-buru membilas tangannya dan menghampiri Juan, mendapati anaknya yang terlihat kacau di pagi hari membuat mama hanya bisa menghela napas sabar.

"Kalau habis dipake mbok ya ditaro di tempatnya lagi, kalau kotor tinggal masukin mesin cuci, kamu tuh ya, pulang sekolah sepatunya jangan dilempar sembarangan, kan ada rak sepatu. Ini kaos kakinya ada nih dicari yang bener." Omelan mama dipagi hari adalah sarapan baginya.

Terkadang Juan heran mengapa mama lebih mudah mencari kaos kakinya bahkan tak ada waktu semenit sedangkan Juan sendiri sudah mencarinya seperempat jam. Sebenarnya ini karena tangan magic mama atau matanya yang buta?

"Ih tadi Juan cari nggak ada."

"Makanya kalo cari sesuatu pakai mata bukannya mulut. Yaudah nih dipakai buruan, Bapakmu itu loh udah nunggu di depan, dek."

Ah iya, selain mama yang suka mengomel ada bapak yang batas sabarnya setipis kertas, tak mau membuat bapak kesal Juan pun segera menyalami tangan mama, menenteng sepatunya dan bergegas ke depan.

"Udah jam berapa ini, Le?" panggilan dari bapak, Tole, yang berarti anak laki-laki. Juan justru cengengesan ketika mendapati sogokan pertanyaan berbau mendesak itu.

"Tadi lho, Pak, nyari kaos kaki nggak ketemu-ketemu." kilahnya.

"Hoo yo mbok teliti kalau nyari."

"Iya, Pak." kata Juan sembari menghampiri bapak yang sudah bersiap di atas motornya.

Setelah memakai helmnya, Juan pun duduk di jok belakang, memeluk bapak erat karena ia tahu bapak akan mengebut kalau jamnya sudah mepet seperti ini.

"Pegangan yo, Le."

Motor itu pun melaju, sebenarnya batas mengebut bapak tidak secepat itu tapi bagi Juan terasa seperti sekejap mata.

Pernah suatu waktu ketika ia menemani bapak pergi memancing di waduk, Juan iseng menanyai bagaimana awal mula mama dan bapak bertemu sampai bisa menikah sekarang, jawaban dari bapak benar-benar membuat Juan takjub.

"Bapak itu, Le, ketemu mamamu pas masih kerja jadi mandor bangunan, Mamamu itu dulu jadi tukang masak di warung makan seberang jalan, duh Le kalau kamu bisa lihat Mamamu pas muda mesti kamu juga bakal kepincut kayak bapak, udah cantik senyumnya manis, pinter masak pula. Lucunya dulu Mamamu malah panggil Bapak dengan sebutan 'om' karena mengiranya Bapak ini sudah punya istri dan anak padahal umur kami cuma beda satu tahun. Bapak sudah jelasin ke Mamamu buat panggil mas aja tapi mamamu kekeh panggil Bapak 'om' karena nggak enak katanya."

Kau Rumahku, JuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang