"Tolong benci aku daripada berpura-pura baik didepanku."
~AuRevoir
.
.
.
🌚🌚🌚Hari pertama Alvan menjalani hukuman, dan benar saja pagi ini anak itu tak turun untuk ikut sarapan. Alvan sudah terbangun dari tidurnya tapi tak ada niatan untuk bangun dari tempat tidur.
Anak itu hanya memandang ke arah jendela yang masih terpasang gorden berwarna abu-abu yang sedikit memancarkan cahaya terang. Sehingga ia tahu jika ini sudah menjelang siang.
Ia yakin jika pintu kamarnya terkunci, jadi lebih baik Alvan berdiam diri saja tanpa melakukan apapun.
"Kenapa nggak ada yang percaya?" lirihnya saat mengingat kejadian kemarin.
"Kenapa gue harus terlahir kembar? Dan kenapa harus mereka orang tua gue?"
Air matanya tiba-tiba turun, pertanyaan kenapa selalu ada di pikirannya. Bukannya dia tak terima. Tapi kenapa harus begini.
Jadi anak kembar tak selamanya buruk kok, tapi sakit banget kalo bedanya kejauhan.
"Tuhan, capek banget harus ngadepin orang yang nggak pernah percaya sama apa yang aku omongin."
Lama merenung tiba-tiba ia mengingat sesuatu. Alvan berdiri, menuju lemarinya. Membuka perlahan, mecari barang kecil yang pernah Damian berikan padanya waktu itu.
Waktu dimana dua minggu pertama saat ia dan Hema menjadi kacung mereka. Dan ya sampai saat ini pun mereka tetap harus menurut pada Damian agar tak senasip dengan dirinya saat ini.
"Nah kan, ketemu juga. Untung kemarin mama nggak buka-buka lemari." ucapnya sambil melenggang pergi dan duduk kembali ke tepi kasur.
Tapi sebenarnya kurang cocok jika melakukannya dengan duduk di kasur. Tapi apa boleh buat, pintu akses ke balkon juga di kunci. Benar-benar Alvan seperti tahanan.
"Bismillah, gue coba dulu. Untuk pertama kalinya." Katanya setelah ia mengeluarkan satu batang rokok dan menyalakannya dengan korek api.
Satu kali sedotan masih aman, sensasi yang sebelumnya tak pernah ia rasakan dan rasanya tak enak.
"Uhuuk... Uhuuk..." Alvan tersedak asap rokok.
Ia segera berlari ke kamar mandi. Berkumur guna menghilangkan bekas rokok yang sangat mengganjal di tenggorokannya.
"Sial! Nggak enak banget rasanya. Mana dada jadi makin sesek lagi." Keluh Alvan.
Sampai pukul 10 pagi Alvan belum mendapatkan sarapan. Bahkan untuk sekedar berteriak minta makan pun ia tak berani.
"Sialan! Gue laper." Alvan duduk di lantai dan menghadap langsung ke jendela. Menatap keluar dengan perasaan sendu.
"Andai gue punya bakat, apa gue bisa jadi kaya Alvin sekarang ya? Dia ganteng, pinter, belum apa-apa udah jadi OSIS mana jalur orang dalem pula." Alvan kembali menunduk, membayangkan ia adalah Alvin yang hidupnya selalu mendapatkan keberuntungan.
"Sialan! Gue iri." Ucapnya lagi, lalu berdiri menuju kamar mandi.
Ia harus mandi, menetralkan pikirannya agar tak terus-terusan merasa iri dengan pencapaian orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
AuRevoir √
FanfictionFollow dan vote ya! "Serupa bukan berarti sama, hati dan pikiran manusia tidak bisa disamaratakan. Mereka kembar, tapi tak selamanya harus sama." kembar, dari kata itu mungkin kalian mengira jika mereka sama. saling berbagi cerita suka maupun lara...