"Saat tak ada siapapun yang mendengar, Maka Tuhanlah yang selalu ada sebagai pendengar."
~AuRevoir
.
.
.
🌚🌚🌚🌚Malam harinya Alvan tak bisa tidur nyenyak. Apalagi setelah kemarahan sang ayah. Sore harinya sang mama juga ikut andil menambah luka untuk Alvan.
Ia hanya terduduk di depan sajadah setelah menunaikan ibadah shalat magrib. Alvan menangis, menangisi segala keadaan dirinya yang tak berguna untuk keluarga dan tak dekat juga dengan Yang Maha Kuasa.
Untuk urusan agama, Alvan bukan orang yang selalu taat. Terkadang ia akan sangat taat sampai menangis saat shalat ketika ia tengah diterjang masalah. Seperti saat ini. Ia mengadu sampai dadanya ikut sakit.
"Ini kenapa sih sakit banget!" Keluh Alvan yang kian merasa pernafasannya terganggu.
"Udah lama nggak nangis, sekali nangis malah sakit." Alvan beranjak.
Ia menuju kamar mandi untuk menghilangkan bekas memerah diwajahnya. Wajahnya kacau. Alvan terseyum kecil kala mendapati diri yang sudah jauh dari kata baik.
Tubuh bagian atas yang tak tertutup baju tampak jelas terlihat penuh dengan luka dan lebam.
"Damian gila!" Pekik Alvan yang tak terlalu kencang.
Alvan merada tubuhnya yang berwarna keuguan. Hasil karya Damian dan teman-temannya. Ada perasaan sedih dan nelangsa kepada dirinya sendiri yang tak mampu berbuat apapun. Dan kenapa harus dirinya yang du bully?
"Hema." Pikir Alvan dan langsung kembali ke ranjangnya.
Alvan bergerak mencari handphone yang seharusnya ada di tas sekolahnya. Tapi kemana benda itu sekarang.
"Sialan! Masa disita papa?" Tebak Alvan yang mulai menyerah setelah beberapa lama mencari.
"Kenapa takdir gue jadi nggak berguna sih! Heh Alvan! Kalo akhrinya cuma jadi pecundang kenapa dulu lo milih lahir?" Tanya Alvan pada dirinya sendiri.
Alvan tengah merenung, memandang langit yang semakin gelap dan sunyi. Ia hanya sedang mencari kebenaran akan keindahan yang dijanjikan Tuhan di alam sebelum ia lahir sampai akhirnya ia dulu memilih untuk lahir.
🌚🌚🌚🌚
Di tempat yang berbeda, di kediaman yang sangat mewah. Seorang remaja memandang sendu kedua orang tua dan kakaknya yang hanya menatap dirinya rendah. Seakan semua yang terjadi adalah keinginannya.
Tapi sungguh, siapa yang mau terlahir dengan keadaan tuli? Begitu pula dengan Hema yang tak pernah ingin hidup seperti ini. Harus pindah sekolah setiap tahun karena di bully terus-menerus. Siapa juga yang mau!
Almira, bunda Hema, hanya menangis sambil mengobati luka baru bungsunya.
"Udah Hem, kamu homeschooling aja. Jangan memaksakan diri kayak anak normal lainnya." tutur sang bunda yang malah membuat luka baru di hati Hema.
Kakak laki-laki nya juga ikut bersuara, "iya dek. Kamu itu nggak bisa jadi anak normal kayak yang lain. Kamu itu udah beda."
Mendengar hal itu Hema tanpa bersuara langsung meninggalkan mereka. Sakit hati karena di bully di sekolah tak ada bandingannya dengan sakit hati yang ditorehkan keluarganya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
AuRevoir √
FanficFollow dan vote ya! "Serupa bukan berarti sama, hati dan pikiran manusia tidak bisa disamaratakan. Mereka kembar, tapi tak selamanya harus sama." kembar, dari kata itu mungkin kalian mengira jika mereka sama. saling berbagi cerita suka maupun lara...