Di siang hari yang lumayan cerah ini, tepat di hari sabtu dan sekolah Alvin libur. Untuk Alvan, Juna telah mengizinkan adiknya untuk tidak masuk sekolah hari ini. Setelah semalam kondisi Alvan yang menurun, anak itu terus mengeluh sakit di kepalanya. Efek kecelakaan kemarin membuat Alvan mendapat beberapa jaitan di kepala.
Juna dan Juan tengah menemui dokter, untuk mengetahui kondisi Alvan. Sedangkan Alvin, dia masih di ruangan Alvan. Meski keduanya terjaga, tak pantas membuat mereka bersuara. Sejak pagi tadi Alvan memang tak bersuara, dia diam bahkan saat Juna menawari makanan anak itu tetap diam tak menjawab.
Sedangkan Alvin, sedari pagi telah bercandaan dengan Juan, dan saat ditinggal berdua di ruangan itu membuat mereka semakin canggung. Berita tentang pembullian yang di lakukan Alvan semakin booming. Bahkan Alvin juga terkena imbasnya.
Sempat saat berita Alvan tersebar, beberapa siswa di sekolah Alvin melabeli dirinya dengan kata "kembaran pembuli" Yang saat itu langsung mendapat amukan dari Alvin. Beruntung ia sudah berteman dekat dengan geng bara, dan yang membatu dia memberi pelajaran kepada setiap siswa yang melabeli buruk Alvin.
Sampai saat ini pun Alvin belum bisa berdamai dengan olokan itu, ia marah dan akan memukul siapapun yang mengolok jahat dirinya.
"Lo nggak ada rasa bersalahnya ke gue?" Alvin mulai bersuara, mengalihkan pandang dari luar jendela ke arah Alvan berada.
Alvan hanya diam, tak berani membalas tatapan tajam sak adik.
"Dulu lo nggak kayak gini, kenapa sekarang berubah?" Nadanya semakin meninggi menatap Alvan dengan kebencian.
"Maaf." Hanya itu kata yang mampu Alvan ucapkan.
Alvin menghela nafas jengah, ia berjalan mendekati Alvan yang semakin menunduk dengan posisi setengah duduk itu.
"Coba bilang ke gue, apa masalah lo sampai berani pukul anak orang kaya gitu? Dia juga manusia yang punya keluarga." Netra itu menatap kakak kembarnya dengan tegas. Mencoba membuat Alvan mau bercerita.
Sejahat apapun Alvan, dia tetaplah saudara kembarnya. Mereka sudah berbagi tempat sejak dalam kandungan Sintha. Bahkan dari kecil selalu bersama.
"Coba bilang van!" Nada Alvin meninggi.
"Andai gue yang di pukul orang, gimana perasaan lo? Sakit kan? Bayangin keluarga teman lo yang lo pukul itu van!" Alvin terengah, lelah menjelaskan dan hanya dibalas diam.
"Lo budek! Gue bicara sama lo Anj*ng!" Setelah berteriak Alvin mengalihkan pandang, agak menyesal untuk itu.
"Kalau gue jujur apa lo percaya?" Alvan membuka suara, menatap punggung kembarannya yang memunggunginya.
Alvin menoleh kembali, dia yang tadinya menjauh kembali mendekat. Duduk di kursi samping brankar. Menatap lamar Alvan, menunggu anak itu bicara.
"Dada gue selalu sakit, tubuh gue juga penuh luka. Setiap hari gue kesakitan." Ucap Alvan dengan menunduk, mengalihkan pandang dari sosok sang kembaran.
"Akh! Nggak guna ngomong sama lo!" Alvin menyentak, melangkah cepat keluar dari ruangan itu.
Kala pintu telah tertutup rapat, barulah Alvan kembali meratapi dirinya sendiri.
"Gue beneran kesakitan setiap hari, kenapa lo nggak percaya?" Ia menatap sekitar, memandangi ruangan yang besar ini hanya diisi dirinya sendiri.
"Kalau nggak ada yang percaya, gue harus gimana? Gue nggak mau mati dan di cap jelek. Gue nggak mau punya nasib kayak gini." Alvan menghela nafas jengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AuRevoir √
FanfictionFollow dan vote ya! "Serupa bukan berarti sama, hati dan pikiran manusia tidak bisa disamaratakan. Mereka kembar, tapi tak selamanya harus sama." kembar, dari kata itu mungkin kalian mengira jika mereka sama. saling berbagi cerita suka maupun lara...