"Dimana tempat pulang selain keluarga?"
~AuRevoir
.
.
.
Sejak di perjalanan, Juna tidak bisa berfikir jernih dia selalu memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada Alvan. Apalagi saat ia tahu jika anak itu tidak makan dari pagi hingga malam saat ia membuka paksa kamar Alvan."Adek, jangan tidur dulu ya. Tolong tetep sadar." Hanya kalimat itu yang mampu Juna ucapkan selama perjalanan.
Yang membawa Alvan adalah Juna dan Juan. Tapi Juan seakan tak ikhlas. Bahkan untuk mengendarai mobil saja anak itu tak ada panik-paniknya. Mungkin jika Alvan meninggal pun ia tak menangis.
"Yang cepat Juan! Adek lo ini udah sekarat!" Pekik Juna dari kursi kemudi. Ingin sekali ia menggantikan Juan menyetir, tapi jika dalam kondisi seperti ini pasti yang jadi pasien bukan ia saja tapi mereka berdua juga akan sama.
"Ribet!" Kesal Juan.
Sesampainya di rumah sakit, Alvan segera ditangani. Dia harus melakukan beberapa pengecekan dan semua telah disetujui oleh Juna. Mau mengharap orang tuanya juga tak mungkin, mereka saja lupa untuk memberi makan Alvan seharian ini. Lalu apa jadinya tadi jika Juna tak segera pulang dan mengecek kondisi sang adik.
Setelah menunggu satu jam lebih, akhirnya Alvan selesai pemeriksaan dan bisa dipindahkan ke ruang rawat. Anak itu masih terlelap dengan nyaman. Dokter hanya berkata jika fungsi paru sang adik semakin menurun, apalagi lambungnya juga kena imbas.
Alvan sempat muntah darah saat di perjalanan, dan hal itu membuat lambungnya semakin bermasalah.
Juna memandang anak itu lamat, ada rasa kasihan yang terselip di hatinya. Alvan seperti ia dulu, yang akan dipukul sang ayah jika tidak menurut dan du tuntut harus menjadi nomer satu. Sakit sekali jika mengingat masa itu.
Didalam ruangan yang besar itu juga ada Juan yang duduk di sofa pojok dekat jendela. Ia sibuk dengan gawainya dan menghiraukan apa yang abangnya ucapkan. Beberapa kali Juna mengajak adik pertamanya bicara namun tak pernah di balas. juan sungguh lelah dengan drama keluarga ini.
"Juan," Panggil Juna bersamaan dengan langkahnya yang mendekati anak itu dan duduk di sampingnya.
Sedangkan Juan hanya berdehem dan tak mengalihkan pandangan dari handphone yang sejak tadi ia mainkan.
"Maafin mas ya kalau mas ada salah, dan buat kamu jadi kaya gini." Juan tak menjawab seakan tak mendengar apa yang Juan ucapkan.
"Adek," panggilan itu, panggilan yang selalu Juan rindukan.
Dulu kakaknya selalu memanggil Juan dengan sebutan itu sebelum si kembar lahir tapi semua itu hilang. Keinginan Juan adalah menjadi anak bungsu yang selalu dimanja seakan sirna dalam sekejap mata. Tak ada lagi bungsu yang selalu di sayang dana tak ada lagi kakak yang menemaninya pulang sekolah.
"Tolong jaga si kembar ya, mereka adek kamu juga. Kalau mas nggak ada dan kamu nggak jagain mereka, kasian mereka." Untuk kali ini Juan mendengarkan apa yang kakaknya ucapkan.
"Nggak ada pilihan lain mas?" Balas Juan yang kini menatap tajam sang kakak.
Juna menghela nafas, menetralkan emosi. Dia tidak boleh membentak anak itu.
"Semua udah takdirnya dek. Bahkan papa dan mama enggak punya rencana buat ini semua. Lo jangan gitu, Alvan dan Alvin juga kalau bisa milih, mereka nggak akan mau jadi adek kita. Jadi tolong. Jaga mereka ya." bujuk Juna lagi namun sang adik malah berdiri dan melenggang pergi.
"Mas urus aja adek mas sendiri." Sarkas nya lalu pergi dari ruangan itu.
Sedang Juna hanya memandang ke arah kepergian sang adik.
"Apa yang terjadi selama gue pergi?"
Hatinya sakit melihat saudaranya yang tak akur sama sekali. Kakak yang seharusnya melindungi kini malah membenci. Sebelum ia pergi semuanya masih baik-baik aja. Tapi kenapa semuanya berubah hanya dalam waktu 3 tahunan ini?
🌚🌚🌚
Pagi hari menjelang siang, Sintha dan Tio baru datang ke rumah sakit. Setelah malam hari mereka pulang mendadak karena baru ingat jika mereka mengunci Alvan sedangkan kuncinya ikut terbawa ke luar kota.
Rencananya mereka akan berada di luar kota selama 4 hari, namun ketika ingat hal fatal yang baru mereka lakukan Sintha segera meminta untuk pulang. Saat sampai di rumah pun mereka langsung menuju kamar Alvan. Dan yang mereka dapati hanyalah kamar yang sudah terbuka dengan kunci yang rusak. Tio yakin jika ada seseorang yang mendobrak pintu kamar Alvan.
Sampai malam harinya mereka tahu dari Alvin jika sang kembaran dibawa ke rumah sakit oleh kedua abangnya. Dan meminta mereka datang keesokkan harinya saja. Karena memang sudah menjelang pagi juga.
"Masih ada yang sakit?" tanya Tio yang tak langsung adalah orang yang membuat Alvan masuk rumah sakit.
Ingin ia mengumpat sebenarnya. Apa ayahnya itu tak melihat bagaimana sekaratnya ia. Masih saja bertanya hal demikian.
"Enggak pah." Balasnya dan mendapat anggukan juga dari Tio.
"Kalo udah nggak sakit, berarti udah boleh pulang kan? Kasian abang kamu yang harus jaga kamu disini, sedangkan mama dan papa harus ke luar kota."
Mendengar ucapan sang ayah bukannya membuat ia semangat untuk sembuh, tapi malah membuatnya semakin sakit. Sintha yang mendengar pernyataan sang suami juga ikut kaget.
"Jangan gitu pah, Alvan juga anak kita."Orang tuanya cekcok kembali. Papa yang ingin Alvan segera pulang sedangkan Mama yang ingin Alvan dirawat sampai sembuh. Membuat kepala Alvan semakin sakit. Apalagi di ruangan ini hanya ada mereka bertiga.
"Udah pah, mah. Jangan berantem disini. Iya Alvan akan pulang hari ini. Ini udah baikan kok." Lerai Alvan yang lelah dengan perdebatan mereka.
"Aku mau istirahat, kalian pulang aja." Alvan mengubah posisinya jadi miring membelakangi kedua orang tuanya.
Tio dan Sintha pun masih bergeming, lalu lamat-lamat ia mendengar suara langkah kaki yang mulai menjauh. Mungkin mereka sudah pergi, pikirnya setelah terdengar pintu kembali di tutup.
Anak itu sudah muak, dia mereka tidak selimut menyalurkan emosinya. Air matanya tiba-tiba keluar begitu saja. Sesaknya juga semakin menyiksa, tapi ia sendirian. Ingin rasanya ada yang memeluknya menyalurkan semangat. Tapi semua seakan menganggap dirinya beban.
"Tuhan, mau pulang aja." Lirihnya dengan isakkan.
Tanpa Alvan ketahui ada seseorang yang mengamatinya dari dekat. Dia baru saja sampai saat Alvan mengeluh akan kehidupan.
Dia hanya berdiri, melihat seberapa kuat anak itu menahan diri. Sampai pada kalimat terakhir yang Alvan ucap membuatnya ikut sakit. Hatinya terasa tersentil, sebagai saudara, ia merasa tak ada gunanya. Untuk sekedar menenangkan saja ia tak bisa. Ego nya lebih besar dari rasa sayangnya.
🌚🌚🌚🌚
Hai semuanya 👋
.
Ada yang nunggu AuRevoir nggak?
Mana nih suaranya?
.
.
Dan bagi yang berminat versi cetaknya "Untuk Senja" segera merapat ke IG aku ya @kinm04.
.
.
Chapter ini adalah hadiah buat kalian yang udah excited sama cerita aku.
.
Terima kasih ya😘
.
Selamat malam.
Salam sayang, kinm 🥰Blitar, 18 Mei 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
AuRevoir √
FanfictionFollow dan vote ya! "Serupa bukan berarti sama, hati dan pikiran manusia tidak bisa disamaratakan. Mereka kembar, tapi tak selamanya harus sama." kembar, dari kata itu mungkin kalian mengira jika mereka sama. saling berbagi cerita suka maupun lara...