37- INSIDEN

1.9K 163 6
                                    

Setiap kali urusan itu terasa sempit dan bertambah sulit, maka sesungguhnya jalan keluar itu semakin mendekat.

Pintu kamar terbuka dan memperlihatkan sesosok pria paruh baya, Rasyid. Pria itu berjalan mendekat ke arah Khair yang sudah melepas pelukannya bersama Abida.

"Kamu dicariin sama Rafa, disuruh pulang."

Cowok itu membuang wajah ke arah Abida lalu mengamit tangan itu dengan santai.

"Boleh pinjem Abidanya sebentar?" Tatapan itu saling beradu.

"Sekali lagi, mungkin."

Mendapatkan senggolan kecil dari istrinya, Khair tersenyum samar.

Perlahan Rasyid menganggukkan kepalanya.

•|•

Khalisa membuka lemari kaca di hadapannya. Perempuan itu mengambil figura foto yang tak terdapat dirinya di sana. Tersenyum samar lalu mengelus lembut wajah Qayla.

"Umi....."

Satu tetes air mata mengalir di pelupuk matanya. Gadis itu bersender di kepala ranjang sesekali memegangi dadanya yang begitu sesak.

Dirinya tak pernah dekat dengan Qayla, tak pernah bisa seperti Abida yang selalu menceritakan apapun kepada Qayla dan Rasyid. Akan tetapi, Abida pun tak bisa seperti Khalisa yang selalu menceritakan apapun itu kepada Khair.

Apakah cukup adil?

Tapi yang sedari dulu diinginkan oleh Khalisa adalah apa yang bisa dirasakan oleh Abida. Dirinya mempunyai keluarga angkat yang memang dulu sangat menyayanginya tapi tidak semenjak saat dirinya berubah menjadi seorang manusia yang jahat untuk satu manusia yang menurutnya adalah ratu berharga di dalam hidupnya. Qayla.

Khalisa mencoba membunuh Khair secara paksa agar jantung itu bisa milik Qayla. Tapi justru itu merupakan kesalahan terbesar yang dirinya lakukan. Jika ingin berkorban, apakah tidak cukup hanya mengorbankan dirinya saja tanpa melibatkan orang lain di dalamnya?

"Abida nggak pernah renggut kebahagiaan Khalisa tapi sekarang Khalisa malah mau rebut kebahagiaan itu."

"Umi... Maaf..."

Khalisa tersenyum tegar.

"Nggak bisa dilanjutkan, kan?"

"Kamu pasti paham, Khair... Jangan lakuin itu. Tolong...."

"Abida.... Aku emang cinta sama Khair, sayang sama dia."

"Karena dia...."

"Orang yang kamu sayang dan kamu cintai juga."

"Siapapun yang mencintai, maka harus mencintai apa yang dicintai orang itu juga."

"Maafin... Aku beneran tutup mata soal kembaran palsu Khair."

•|•

Khair tidur di pangkuan Abida seraya menikmati hawa sejuk yang menerpa kulitnya.

Abida memperhatikan taman sekitarnya dengan tatapan tak terbaca.

"Khair...."

"Iya?"

"Kamu mau gimana?"

"Tetep sama kamu, Ning. Kita ini kayak tajwid dan tahsin, nggak bisa dipisahkan."

Abida tertawa lalu menyentil pelan kening suaminya.

"Cinta kamu."

"Cinta dede bayinya nggak?"

Cowok itu tersenyum. "Sayang banget."

"Nggak cinta?"

"Enggak."

Abida tersenyum sendu tapi Khair membawa tangannya lalu mengecupnya.

"Kamu nanyanya cinta doang, makanya aku jawab enggak. Kalo cinta banget, aku jawab iya."

"Khair... Ada yang disembunyiin dari aku?"

"Ada."

"Apa?"

Suaminya terdiam. "Kalo hal bahagia bakalan aku kasih tau tapi ini hal sedih. Nggak mau buat Bidadari sedih."

Cowok itu yang semula berbaring kini duduk lalu merangkul Abida.

"Nggak mau buat kamu sedih."

Nyatanya, mereka saling memandang dengan segala makna tersirat di dalamnya.

"Gantian...."

"Maksudnya?"

Khair mengecup kening istrinya lama. "Sayang kamu, cinta kamu, kamu cantik, kamu baik, kamu sempurna."

Abida semakin bingung ketika begitu banyak kata-kata manis yang terucap.

"Maafin, maafin buat segalanya. Bahkan yang tadi. Udah buat kamu nangis juga."

"Khair...."

Khair menggeleng. "Kamu gantian duduk di sini."

Abida bingung tapi tetap mengikuti permintaan suaminya. Abida duduk dibekas Khair, begitu pula Khair duduk dibekas Abida.

"Bukannya sama aja?"

"Beda, Ning..."

"Kalo kamu tetep di sini, aku terluka."

"Kalo kamu pindah, kamu bahagia."

DOR

Suara tembakan yang begitu besar membuat Abida langsung melihat ke arah Khair. Perempuan itu mundur ketika melihat tangan kanan suaminya bersimbah darah.

Abida menutup mulutnya dan menangis kencang. Perempuan itu meminta tolong kepada siapa saja dan menghampiri suaminya yang sudah hampir tumbang.

"Khair...."

"Jangan.... Jangan tinggalin aku...."

"Aku nggak bahagia, aku sakit, Khair....."

Dengan segala sisa kesadarannya, suaminya tersenyum dan balik menggenggam tangan Abida meski lemah.

"Tapi aku bahagia liat kamu dan anak kita selamat."

Detik berikutnya mata yang selalu menatap Abida dengan tulus cinta tertutup rapat bersamaan dengan mobil Ambulance dan Polisi yang datang.

"Kehendakmu adalah harapan, kehendak Allah adalah kepastian. Silakan Anda berharap tapi jangan memastikan."
-Habib Syekh bin Abdul Qodir Assegaf-

Pahala Surgaku✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang