8- KHA....

2.7K 329 0
                                    

"Acuh sama keadaan sekitar itu rutinas saya, nggak terkecuali kalo ada kamu di dalamnya."

Khair menyantap bawaan calon istrinya itu dengan tenang sesekali tangannya mengelus punggung tangan Sarah.

Abida sedari tadi memandang ragu cowok itu. Apa benar pemilik bukunya adalah lelaki itu?

Khair berdehem seraya melihat kalender yang terpajang. "Umma..."

"Kayaknya aku harus pergi."

Lagi dan lagi Sarah hanya bisa tersenyum lalu mengangguk meski tak tahu untuk apa anaknya selalu pergi di tanggal yang sama semenjak beberapa tahun silam.

Sedari tadi, pemuda itu tidak seperti biasanya yang membuat Abida bingung. Ke mana sikap mengesalkannya itu?

Khair berjalan ke arah kamar lalu mengambil kunci mobilnya dan membuka nakas. Cowok itu mengambil figura foto yang terdapat dua anak kecil perempuan dan laki laki. Bibir cowok itu membentuk lengkungan tipis.

"Kha...."

•|•

"Pernikahan kamu tinggal seminggu lagi. Kamu siap, Abida?"

Abida terdiam. Ragu untuk berbicara.

"Abi, kenapa aku harus nikah sama orang itu? Gimana aku bisa yakin bahwa jalan surgaku ada padanya sedangkan sikapnya aja kayak gitu?"

"Karena dia jodoh terbaik dari-Nya. Percaya sama Abi. Supaya yakin jika jalan surgamu ada padanya, maka taatlah kepadanya selagi tidak membuat kamu bermaksiat kepada Allah."

Abida membasahi bibirnya. "Besok aku harus ke pondok sebar undangan?"

Rasyid mengangguk. "Iya. Keluarga Khair sepakat pernikahan ini nggak tertutup."

Refleks mata Abida mengerjap. "Maaf, Bi? Apa sebaiknya acaranya tertutup aja?" Perempuan itu tertawa kecil. "Aku sama Khair masih sekolah."

Rasyid menggeleng seraya menepuk paha putrinya. "Abi nggak bisa nurutin kemauan kamu. Karena Rafa langsung nurutin kemauan Khair."

Lagi dan lagi anak itu yang terpilih.

Abida menghela napas.

•|•

Abida turun dari mobilnya seorang diri. Perempuan itu tersenyum ramah kepada penjaga pondok lalu menyodorkan undangan tersebut.

"Masya Allah, Ning.... Semoga samawa, ya!"

Abida hanya bisa tersenyum lalu mengangguk. Di balik niqab hitamnya, perempuan itu tiada henti untuk tetap tersenyum meski suasana hatinya benar-benar campur aduk.

"Ning?!!"

Abida menengok begitu melihat Farel---anak teman Abinya.

Abida menunduk. "Ya, Gus?"

"Baru keliatan. Kapan pulang dari Aleksandria?"

"Baru sebulan yang lalu."

Abida memandang ragu undangan itu lalu perlahan menyodorkannya kepada sang empu. Dengan perlahan, Farel melihat undangan tersebut. Terdiam namun setelahnya tersenyum tipis.

"Semoga kamu kuat, ya, nikah sama si bontot kesayangan keluarga."

Abida hanya bisa menggeleng seraya berdecak. Mengapa kelihatannya Khair sangat tenar?!

"Insya Allah, aku datang. Oh, iy---"

Ucapan Farel terpotong ketika ada seorang pemuda membawa rotan seraya menyilangkan tangannya di belakang tubuhnya.

"Bagus!"

Abida kaget. Perempuan itu menoleh lalu detik berikutnya gadis itu menunduk ketika pandangannya bertubrukan dengan manik Khair begitu pun dengan Khair yang terlihat kaget.

"Ning..." Khair berucap dengan lirih. Tapi selanjutnya mengubah raut wajahnya ketika teringat apa yang akan dirinya lakukan.

"Gus... Ning Bidadari calon istri saya."

Farel menaikan sebelah alisnya. "Bidadari?"

Khair mengangguk. "Abidadari. Cocokan dipanggil Bidadari."

Farel menggeleng. "Lalu?"

Khair menatap tajam. "Seharusnya kamu paham!" Lelaki tersebut berujar dengan nada tegas.

"Dan untuk kamu, Ning... Acuh sama keadaan sekitar itu rutinas saya, nggak terkecuali kalo ada kamu di dalamnya."

Abida berdehem menghilangkan rasa gugup. "Maaf, Gus... Sebaiknya saya izin pamit un---"

Khair menyodorkan tangannya. "Siniin undangannya!"

Seperti terhipnotis perempuan itu menurut. Khair tersenyum.

"Kamu pulang, biar saya yang bagiin."

"Maaf... Tapi kata Abi..."

"Nggak! Udah cepet sana kamu pulang!"

Abida menekuk alisnya. "Kenapa, sih, Gus?!"

"Kamu makin sempurna waktu pake niqab."

Usai berkata seperti itu, Khair melangkahkan kakinya dengan acuh tanpa memikirkan perasaan Abida karena ucapannya barusan.

"Gus!" Abida memanggil.

"Jangan panggil saya Gus!"

Abida menghela napas. "Saya belum bisa manggil kamu dengan sebutan yang kamu mau!"

Khair tersenyum tipis. "Terus?"

"Kenapa bisa ada di sini?"

Khair terdiam.

"Karena tulang rusuk saya ada di sini."

Pahala Surgaku✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang