🌻🌻🌻
Kevin melambatkan langkah kakinya setelah sampai di tempat tujuan. Ia melihat punggung feminim yang sangat familiar sedang menunggunya disana.
Saat Kevin sudah berada di depan kursi taman, ia bisa melihat raut pucat dengan mata sembab memerah milik Shalsa. Tangan gadis itu menggenggam selebaran kertas putih dengan tinta hitam yang ia tahu adalah surat pemberitahuan dokter.
Kevin menghela pelan. Situasi seperti ini sempat terpikir menjadi reaksi Shalsa, sayangnya Kevin belum menemukan solusi penyelesaian, sehingga ia berada di titik setengah siap untuk menghadapi. Mungkin menjadi cukup alot dalam menghasilkan kesepakatan di antara mereka.
Setelah hembusan napas berat, Shalsa menoleh ke arah Kevin yang sudah duduk diam memandangnya.
"Gue butuh penjelasan." Suara serak Shalsa terdengar. Gadis itu menunjukkan lembaran tersebut di hadapan Kevin.
"Kandungan lo lemah. Lo nggak bisa ikut kegiatan olahraga dulu."
"Kenapa nggak bisa?!" Intonasi Shalsa meninggi. Terdengar ada tekanan emosi di setiap nadanya. Gadis itu masih mencoba untuk menahan diri.
"Gue yang punya badan. Gue tau kemampuan gue. Dan gue yakin, gue mampu."
Kevin masih menatap Shalsa tenang. Meski ego dalam dirinya sudah mulai bergejolak. Pandangan laki-laki tersebut tidak sedikitpun menantang. Kevin tahu, ini pasti berat untuk Shalsa. Yang ia perlukan adalah memberi pemahaman serta sedikit pengertian.
"Lo nggak pernah tau, olimpiade ini salah satu olimp yang gue impiin. Bertahun-tahun gue nyiapin segalanya buat ikut seleksi. Dan ketika peluang itu kebuka lebar, lo sengaja ngajuin surat buat nyoret nama gue? Lo jahat tau nggak!" Shalsa menghapus air mata yang sempat mengalir keluar. Kemudian beranjak tanpa menunggu respon Kevin atas protesnya.
Kevin menghela panjang. Sang netra masih bertahan menamatkan gadis tersebut hingga hilang dari pandangan. Setelahnya, kornea dengan warna hitam pekat itu beralih memandang langit biru di angkasa. Memerhatikan pergerakan awan putih yang semakin mendekat satu sama lain.
Bebannya begitu berat. Pikirannya kalut. Terlalu kalut hingga otaknya tidak bisa bekerja. Rasa kecewa menyeruak perlahan. Bukan untuk siapa-siapa. Melainkan untuk dirinya sendiri. Andai dia bisa menjaga diri lebih baik, tentu situasi seperti ini tidak pernah terjadi.
Perkataan jahat yang ditujukan Shalsa padanya berhasil menohok laki-laki itu. Jika ditelaah kembali, dia memang terlalu lancang hingga berani memutuskan suatu hal tanpa berdiskusi terlebih dahulu kepada yang bersangkutan. Apalagi, ternyata keputusannya sangat berefek bagi Shalsa.
Tapi... bukankah gadis itu kemarin mengatakan ingin mempertahankan kandungan? Bahkan mereka sudah periksa dan Shalsa juga sedang mengonsumsi obat untuk kesehatan janin. Fakta tersebut yang membuat Kevin percaya diri meminta surat kesehatan dari Tante Runa dan menyerahkan pada Maya. Nyatanya, keputusan Shalsa belum final. Dan dengan berat hati Kevin harus siap jika gadis itu berubah pikiran.
🌻🌻🌻
Setelah makan malam, Shalsa segera kembali ke kamar. Seperti hari-hari sebelumnya sejak ia mengandung. Sebenarnya, ini bukan rutinitas biasa yang ia lakukan. Bahkan sang ibu sempat bertanya, karena terjadi perbedaan yang cukup signifikan. Semakin hari, Shalsa semakin jarang berkumpul dengan orang tuanya.
Namun, bukan Shalsa jika tidak bisa memberi alibi. Banyak alasan yang dapat ia gunakan untuk saat ini. Ada tugas portofolio yang menggunung karena sebentar lagi libur kenaikan kelas, belajar untuk persiapan kelas duabelas, capek karena kegiatan sekolah apapun itu, dan biasanya sudah mengantuk meski hari masih sore. Selebihnya, akan ia pikirkan nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
REFLECTION
Teen Fiction#LightSeries ~ 1 [ R E F L E C T I O N ] 🌻 Erlando Kevin Abimanyu 🌻 Shalsabilla Renata Abyasa Kata kuncinya hanya satu. Kevin tidak suka ribet, Shalsa juga. Cukup dari hal tersebut, mereka tampak mirip. Tampak serupa. Tampak sama. Sehingga dapat d...