07 | • Positif

16 3 2
                                    

🌻🌻🌻

"Gak mungkin. Ini pasti error juga. Gue beliin lagi ya di apotek yang mahalan. Lo tunggu sini bentar..." Andyra mulai berkemas, di tengah usahanya untuk menyembunyikan rasa panik dan ketakutan. Gadis itu mencoba bersikap baik-baik saja.

Namun belum sempat kakinya melangkah, Shalsa mencegah pergerakan sang sahabat dengan menggenggam sebelah tangan Andyra.

"Ini yang kelima, Dyr." Shalsa nyaris berbisik. Pandangannya kosong meski arah sang netra tertuju pada keempat testpack lain yang berada di tangan Vellen, gadis itu kini hanya bisa menangis meratapi benda pipih tersebut.

"Ya mungkin lima-limanya error. Bisa jadi, 'kan? Sa, gimana bisa lo hamil... pacar aja gak punya. Lo masih nge-prank kita?" Andyra menoleh ke arah sahabatnya yang lain. "Ve, jangan nangis dong. Ini cuma prank."

"Gue tidur sama Kevin."

Vellen dan Andyra kembali melihat Shalsa dengan pandangan tidak percaya.

"Sumpah gue puji keniatan lo. Lo berhasil nge-prank kita. Jadi, stop... oke? Kasih tau Vellen biar berhenti nangis."

Tubuh Shalsa meluruh. Genggamannya mengerat, mencengkram kuat testpack yang masih bersembunyi di balik jemarinya meski sang tenaga seperti hilang tak tersisa. Pandangan Shalsa memburam, kemudian setitik air mata menetes di kedua sisi. Jika saja dia boleh memilih, dia ingin apa yang terjadi sekarang seperti yang dikira kedua sahabatnya.

Vellen yang melihat hal tersebut semakin menjadi dalam tangisan. Dia sudah mengira dari awal jika ada sesuatu yang tidak ia ketahui atas Shalsa. Sahabatnya tidak pernah seserius ini selama ingin mempermainkan mereka.

Andyra ikut meluruh. Jatuh tepat di hadapan Shalsa. Pandangannya menerawang, pikirannya blank. Panik dan takut semakin menghantui, membuatnya tidak tahu harus berbuat apa. Dia menyadari, jika yang terjadi sekarang... bukan sekedar bualan.

"Ke....kenapa bisa?" Lirih Andyra gugup. Sebagian otaknya menolak percaya, namun sebagian lagi benar-benar sudah percaya.

Tangis Shalsa samakin menjadi. Kepalanya bersembunyi di kedua lutut yang tertekuk sejajar dada. Tangan Shalsa melingkar erat sepanjang kakinya. Mimpi buruk yang selama ini ia hindari, tetap hadir dengan seluruh konsekuensi dan risiko yang harus ia tanggung.

"Gue... gue harus gimana?"

🌻🌻🌻

"Vin, fokus dong. Lo latihan futsal atau latihan jadi patung? Diem aja dikasih bola."

"Sori.... sori...."

"Kenapa?" Gio mendatangi sahabatnya. Memang jika diperhatikan Kevin tidak seperti biasa. Pandangannya sering kosong. Seperti memikirkan sesuatu yang jauh entah dimana, meski raga itu tampak nyata di hadapannya.

"Nggak papa, capek aja. Gantiin gue bentar ya, Gi."

Gio mengangguk, dirinya segera masuk lapangan, sedangkan Kevin beralih ke bangku cadangan.

'Gue cuma pusing. Pingin muntah dari pagi.'

Jawaban Shalsa saat di UKS tadi kembali terngiang. Membuat Kevin sekali lagi membuang napas kasar. Menduga-duga adalah hal yang paling tidak ia sukai. Ini lebih menyiksa daripada mengetahui kebenarannya, meski hal tersebut adalah buruk.

Keberanian Kevin tidak cukup untuk membuat ia bertanya. Pembahasan tersebut memang sangat riskan dan tabu. Dia takut menyinggung perasaan Shalsa jika harus mengingat insiden dulu. Sedangkan gadis itu sepertinya baik-baik saja, dan menganggap tidak pernah terjadi apa-apa.

Apa hanya dirinya saja yang parno, dan begitu naif hingga selalu teringat peristiwa tidak seharusnya itu? Tapi... bukankah benar jika dirinya merasa bersalah dan ingin bertanggung jawab?

Ketika Kevin memilih lari dan menganggap semua tidak pernah terjadi, bayangan atas karma yang akan ia terima suatu hari nanti datang menghantui. Sebuah penyesalan yang akhirnya mengantarkannya pada belenggu penderitaan.

Bukan tanpa contoh, Om Rafli—adik dari ayahnya—pernah bercerita bahwa pria itu melakukan kesalahan yang fatal. Seperti dirinya. Hanya saja, Om Rafli melakukan dengan sengaja bersama sang kekasih. Singkat cerita mereka berpisah dan tidak lagi berkomunikasi. Lalu, beberapa tahun kemudian, mereka bertemu dengan berita bahwa mantan kekasih Om Rafli mempunyai putra hasil dari hubungan yang tidak seharusnya itu. Nihil yang bisa dilakukan Om Rafli karena saat itu ia sudah menikah dengan Tante Runa—istrinya sekarang. Entah akibat tidak ada niatan untuk bertanggung jawab, atau balasan dari Tuhan karena telah menelantarkan putra kandungnya, hingga sekarang setelah belasan tahun menikah, Om Rafli belum dikaruniai keturunan. Padahal seperti yang sempat ia dengar, reproduksi Om Rafli serta Tante Runa dinyatakan sehat oleh pakar medis.

Cerita itu pula yang selalu menjadi teguran untuknya agar tidak ceroboh. Om Rafli selalu bilang, senakal-nakalnya dia dalam bergaul jangan pernah melakukan hal kelewat batas.

Tetapi sekarang, dia berada di situasi yang sama meski dari kasus yang berbeda, namun tetap serupa.

🌻🌻🌻

"Gue mau nemuin Kevin. Biar gue hajar tuh anak." Vellen yang sedari tadi menyimak cerita Shalsa segera naik pitam. Meski dia tahu pria itu juga dalam pengaruh alkohol, tetap saja laki-laki yang salah. Kaum adam ikut berkontribusi, tetapi hanya kaum hawa yang menanggung akibatnya.

"Ngapain?" Shalsa mulai tenang dari isak tangisnya yang hebat. Bercerita kepada sang sahabat mampu mengurangi setengah beban pikiran. Meski sebagian kepala tetap pening memikirkan bagaimana kedepannya, namun Shalsa sudah bisa sedikit bernapas.

"Ya... dia harus tahu lah, Sa. Masak lo nanggung sendiri! Dia juga harus repot. Dia harus pusing kayak lo."

"Gue nggak mau tambah ribet. Biar gini aja dulu. Sekarang yang lebih penting, gimana bilang ke Mama-Papa? Kalau mereka gak bisa terima dan gue diusir gimana?"

"Gue siap nampung lo." Andyra berkata sigap, nadanya terlontar penuh keyakinan.

Namun, hal tersebut malah membuat Shalsa sedih.

"Jadi bener, ada kemungkinan gue diusir..."

Andyra segera menatap Vellen, menyadari bahwa jawaban yang sudah ia berikan adalah salah.

"Nggak mungkin. Tante sama Om pasti ngerti."

"Mana ada orang tua pengertian sama putrinya yang hamil di luar nikah."

Kini giliran Vellen menatap Andyra, menyadari jawaban yang sudah ia berikan juga tidak seratus persen benar.

"Mau digugurin?" Andyra bertanya hati-hati, mencoba menjaga perasaan Shalsa.

"Dosa dong gue."

"Ya... ya iya... Terus gimana? Mau dipertahanin? Yakin siap sama semua konsekuensinya? Sekolah lo, masa depan lo, cita-cita lo, nama baik keluarga lo...."

Shalsa semakin bimbang. Dia tidak mungkin rela melepas semua itu, tetapi dia juga tidak berani melenyapkan calon kehidupan. Bukan hanya dosa, tetapi risiko-risiko lain yang diakibatkan.

Dan untuk kesekian kali, Shalsa hanya mampu menangis lalu terisak hebat.

31/03/24

REFLECTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang