09 | • Harus Memilih

19 2 0
                                    

🌻🌻🌻

Shalsa menunggu Kevin di tempat yang sama. Sebelum pria itu kembali masuk, dia menyerahkan jaketnya untuk Shalsa.

Gadis itu menerima saja. Menganggap bahwa yang Kevin tahu, dia sedang masuk angin—lagi. Cuaca memang sedang mendung, lalu angin berhembus sedikit lebih kencang dibanding biasa.

Saat mengenakan jaket milik Kevin, wangi khas laki-laki itu tercium jelas. Masih sama seperti yang Shalsa tahu. Dan entah sihir atau hanya kebetulan semata, rasa mual yang ia rasa hilang seketika. Padahal, banyak wewangian yang ditolak oleh indra penciumannya akhir-akhir ini.

Bahkan, menurut Shalsa wangi khas milik Kevin lebih menenangkan. Relaksasi ringan. Shalsa memejamkan mata, menelisik kedamaian dari sang raga. Ini seperti aroma terapi yang ia inginkan.

Shalsa baru membuka mata saat kursi di sampingnya terasa ada yang menduduki. Kevin sedang menyobek bungkus kemasan, kemudian membuka mangkuk plastik yang digunakan sebagai wadah, lalu menyerahkan pada Shalsa.

Shalsa tersenyum menerima. Gadis itu segera melahap makanan yang ia idam-idamkan. Benar saja.... rasanya sungguh nikmat. Akhirnya, setelah semua jajanan kantin tidak membuatnya selera makan, kini dia bisa mengisi perut dengan nyaman.

Kevin mengamati Shalsa dalam diam. Sesekali menolak saat gadis itu menawari salad tersebut padanya.

"Nggak ada yang mau lo omongin sama gue?" Tanya Kevin tiba-tiba. Rasanya dia tidak bisa sabar jika harus menunggu lebih lama untuk membuka pembicaraan mengenai mereka.

Shalsa terdiam. Tangannya yang ingin menyuap berhenti di udara. Juga mulutnya yang berhenti mengunyah. Dalam hitungan detik, Shalsa berusaha mengais keberanian untuk berbicara yang sebenarnya. Sekarang adalah momen yang tepat. Namun, sebagaimana ia berusaha, Shalsa tetap tidak siap. Akhirnya, gadis itu menggeleng ragu.

Keraguan tersebut cukup nyata, hingga Kevin mampu melihat dengan jelas namun hanya bisa menghela napas. Dia berusaha memahami Shalsa. Mungkin gadis itu perlu waktu.

Tapi tidak dengannya.

"Semua keputusan ada sama lo. Gue udah cukup bersalah nempatin lo di situasi sekarang, nggak mau lebih brengsek lagi dengan maksain kehendak gue. Tapi please, apapun pilihan lo, kasih tau gue."

Shalsa menatap Kevin cepat. "Lo... lo tau?"

"Kenapa gue harus nggak tau?"

Mendengar pertanyaan balik itu, membuat Shalsa berpaling. Kembali menekuri salad buah yang tidak senikmat tadi saat memakannya.

Benar, Shalsa tidak mempunyai jawaban atas pertanyaan Kevin. Gadis itu menghirup napas panjang, dan membuangnya perlahan.

"Kalo lo jadi gue, apa yang bakal lo lakuin?"

"Gue nggak munafik, pikiran pertama yang muncul pasti gugurin dia." Kevin berucap tenang. Pandangannya masih lurus ke depan.

Shalsa merasa ada yang meremas hatinya kuat-kuat. Begitu pilu dan menyayat. Padahal apa yang diucapkan Kevin adalah benar. Tapi, mendengar langsung seseorang berkata ingin melenyapkan kandungannya, terdengar begitu mengerikan.

"Mertahanin dia sama aja lo buang setengah masa depan dan hidup lo. Hancur, udah pasti. Tapi lo punya setengahnya lagi buat lo tata ulang. Bukan nggak mungkin, masa depan dan hidup lo nanti jauh lebih baik dibanding saat lo milih buat lenyapin dia. Ngegugurin dia cuma ninggal penyesalan doang."

"Lo bener. Sejahat-jahatnya ibu, dia tetep nyesel bunuh anaknya sendiri. Tapi nata masa depan yang udah hancur setengahnya, bukan hal gampang, kan? Apalagi dengan status gue yang udah nyalahin norma."

"Lo nggak sendiri."

Shala tersenyum sedih. "Gue bahkan nggak bisa bayangin respon orang tua gue. Gue nggak yakin mereka masih di samping gue dan nerima gue pas tahu semuanya."

Kevin berdecak. "Lo nggak nangkep poinnya, Shalsa."

Shalsa menoleh ke arah Kevin yang juga sedang menatapnya. Gadis itu tampak bingung, tidak paham.

"Bagian mana yang buat lo nggak ngerti? Gue udah tanya keadaan lo, gue minta lo bilang sama gue apapun keputusan lo nanti, dan gue juga nawarin buat mertahanin dia. Itu artinya, gue mau tanggung jawab atas lo sama dia."

"Lo nggak bilang mau tanggung jawab tadi." Bela Shalsa. Dia tidak salah. Bagaimana bisa dia mengartikan hal-hal tersirat yang diajukan Kevin dengan sebuah keputusan besar? Dia tidak sepercaya diri itu.

"Gue mau tanggung jawab. Apapun keputusan lo, gue terima. Asal lo udah siap sama segala konsekuensi dan resikonya."

"Gimana kalau digugurin aja?"

Kevin mengangguk. "Lo harus siap sama karma dan hukuman yang bakal lo tanggung."

Itu yang Shalsa takutkan. Melakukan dosa pasti ada karma dan hukuman yang menanti. Apa dia siap?

"Kalo gue pertahanin, lo yakin kita mampu?"

Kevin kembali mengangguk. Sikapnya tetap tenang. "Tapi lo harus siap setengah masa depan dan hidup lo hancur."

🌻

Shalsa turun dari motor Kevin saat teman-temannya sedang membeli ketoprak di depan rumah Gio.

"Kemana aja? Lama banget kalian berdua. Vellen aja sampek dateng duluan." Andyra bertanya dengan tangan membawa piring pesanan.

Saat ingin menjawab, bau telur yang menguar membuat Shalsa kembali mual. Gadis itu pun segera melipir ke dalam dengan tangan menutupi hidung menggunakan jaket milik Kevin yang masih ia kenakan.

Andyra yang paham berusaha menjauhi Shalsa. Gadis itu ganti berpaling menatap Kevin dengan pandangan bertanya.

"Dari Délice."

Andyra ber-oh tanpa suara.

"Lo tau?" Tanya Kevin lagi. Matanya meneliti kornea milik Andyra. Sepertinya, tanpa gadis itu merespon, Kevin sudah tahu jawabannya.

"Lo udah tau?" Andyra balik bertanya.

"Kasih tau gue kalo dia kenapa-napa."

Kemudian, pria itu berlalu begitu saja.

Mendapat reaksi Kevin yang demikian, dan perintah tidak sopannya barusan, bukankah berarti pria itu peduli kepada Shalsa? Jika pria itu peduli, tidak mungkin Kevin meninggalkan Shalsa begitu saja. Artinya, pria itu pasti mau bertanggung jawab.

Secercah senyuman terlukis di raut Andyra. Gadis itu segera masuk dengan suka cita.

Vellen yang melihat keceriaan sahabatnya segera mengangkat sebelah alis. Andyra mengedipkan sebelah mata. Kemudian reaksi sahabatnya seketika ikut senang. Dalam kunyahan makannya, Vellen kembali meminta konfirmasi. Andyra mengangguk, melebarkan senyum sembari menyuapkan ketoprak ke dalam mulut. Begitulah bahasa isyarat yang berjalan lancar antara dua sahabat tersebut.

Sedangkan Shalsa, gadis itu duduk di pojok ruangan. Menjauhi penyebab rasa mualnya kembali muncul. Jaket Kevin sudah terlepas, tetapi tetap ia gunakan sebagai masker dadakan. Aroma laki-laki itu berhasil menutup wangi telur goreng, yang harusnya sedap dan harum bagi orang normal.

Kevin yang melihat itu segera mendekat, mendudukkan diri di samping Shalsa. "Mau minum?"

Shalsa menggeleng. "Gue nggak papa."

Kevin tidak memaksa, pria itu memilih menggapai laptop Gio dan membuka benda tersebut. Laporannya sudah ia kerjakan jauh-jauh hari, tinggal menyesuaikan dengan milik yang lain.

"Sa, lo nggak mau ketoprak?" Gio menawari. Di piringnya, tinggal satu suapan.

Shalsa menggeleng, tersenyum tipis untuk menolak secara sopan.

"Tumben lo nggak langsung pesen..." Gio mendekat ke arah Kevin setelah meletakkan piring di pantri dapur. Pria itu membawa gelas berisi air putih.

"Nggak laper. Mana laporan lo?"

"Data C."

Setelah semua selesai makan, mereka pun mulai kerja kelompok. Shalsa ikut bergabung dengan jaket milik Kevin tetap di pangkuan.

31/03/24

REFLECTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang