10 | • Yakin?

15 2 1
                                    

🌻🌻🌻

Di hari minggu, biasanya Kevin akan tidur seharian jika tidak ada jadwal penting. Bahkan panggilan dari sahabat-sahabatnya bisa ia abaikan untuk mencukupi kebutuhan istirahatnya yang berlebihan.

Namun kali ini, pagi-pagi sekali dia sudah berada tepat di depan rumah Shalsa. Saat masuk, seorang wanita hampir lima puluhan membukakan pintu. Mempersilakan duduk.

"Tadi, Neng Shalsa pesen minta ditunggu sebentar. Neng Shalsa-nya baru selesai sarapan, habis itu pergi ke atas buat siap-siap. Aden, pacarnya Neng Shalsa ya?"

Kevin hanya tersenyum mendengar pertanyaan seperti itu.

"Soalnya baru kali ini Neng Shalsa dijemput cowok. Biasanya mah, kalau mau jalan-jalan nunggu Den Sean pulang."

Kevin perkirakan, 'Den Sean' adalah kakak laki-laki Shalsa. Dilihat dari foto keluarga yang terpajang di beberapa sudut ruangan, Shalsa merupakan anak terakhir dari dua bersaudara.

"Ayah sama Ibunya Shalsa di rumah, Bi?"

"Wah... Tuan sama Nyonya lagi ke Bandung, Den. Ngunjungi Den Sean."

Saat akan bertanya lagi, suara langkah kaki terdengar menuruni tangga. Kevin menoleh. Segera berdiri saat mendapati orang tersebut adalah Shalsa.

Baju rajut kuning, dipadu dengan jeans berwarna denim grey. Tampilan sederhana yang ceria, meski begitu raut wajah Shalsa menampakkan hal yang berbeda. Bibirnya tertekuk kaku, jelas sedang mendeskripsikan rasa kesal. Padanya, tentu saja. Karena agenda hari ini adalah hasil paksaan dari Kevin.

"Bi, saya izin bawa Shalsa jalan-jalan sebentar."

"Iya, Den." Bi Suti kemudian menatap Nonanya. "Hati-hati ya, Neng."

Shalsa mengangguk. "Nanti kalau Mama atau Papa pulang duluan, bilang aja Shalsa keluar sama temen-temen."

"Kok bohong, Neng?"

"Siapa yang bohong? Kevin temen Shalsa juga kok."

"Baik Neng. Siap."

🌻

"Gue nggak mau periksa..." rengek Shalsa setelah mobil Kevin berhasil menemukan tempat parkir di salah satu rumah sakit ternama.

Kevin berdecak. Pria itu menatap Shalsa tenang, meski perasaan kesal mulai ikut mendominasi. "Kalo milih jangan setengah-setengah. Katanya mau mertahanin, ya dirawat. Mana ada ceritanya orang hamil gak pernah periksa, Sa."

"Gue takut... gimana kalo nanti dokternya gak nerima kita? Kita diusir. Trus orang-orang di sana pada nyinyir semua..."

"Omongan orang lebih penting daripada kandungan lo?"

Shalsa semakin menekuk bibirnya. "Bukannya lebih penting, tapi bayangin aja gue nggak sanggup. Apalagi denger langsung. Pasti sakit banget rasanya," ucap Shalsa dengan kedua tangan menyentuh dada.

Kevin menghela pelan. Kembali menstarter mobil dan menjalankan kendaraan keluar basement bangunan. Di tengah jalan, pria itu sibuk dengan ponselnya untuk melakukan panggilan.

"Tante, di klinik kan?"

Pria itu mendengarkan jawaban di seberang, sebelum kembali menjawab, "Iya, sekarang otw ke sana."

Shalsa menoleh, gadis itu segera membuka suara setelah Kevin menutup sambungan. "Nelpon siapa?"

"Tante gue."

"Tante lo dokter?"

Kevin hanya mengangguk. Tapi jawaban seperti itu malah membuat Shalsa terbelalak. "Gue periksa sama tante lo? Lo gila?"

"Di hari minggu, kliniknya sepi. Tante Runa cuma nerima pasien check up aja."

"Bukan gitu... gue lagi hamil Kevin. Bukan lagi demam. Lo—" Shalsa tidak bisa berkata-kata. Kevin harusnya tidak sebodoh ini dalam mengambil keputusan. Yang benar saja... diperiksa oleh tantenya sama saja sedang menggali kuburan sendiri.

"Tugas lo cuma dateng terus periksa, beres. Yang lain biar gue yang urus."

Shalsa menghela panjang, meski tetap sangsi namun ia hanya bisa pasrah.

Sesampainya di sana, seperti yang dikatakan Kevin. Klinik tantenya cukup besar, namun tidak ada pasien mengantri.

Shalsa dan Kevin menunggu kurang lebih sepuluh menit. Setelah itu, pasien dan seorang berjas putih keluar dari ruang periksa.

Perbincangan terjadi sebentar, hingga akhirnya dokter tersebut beralih mendekat.

"Sama siapa ini?" Sang dokter jelas mempertanyakan status Shalsa. Sepertinya, mereka sama. Tidak pernah membawa lawan jenis di hadapan kerabat dekat.

"Pacarnya Kevin ya?"

"Bukan," jawab Shalsa reflek.

Kevin masih tenang. Pria itu menerima apa saja yang dikehendaki Shalsa. Status bukan masalah serius untuknya.

Namun, seakan tidak percaya, Tante Runa tetap menganggap bahwa mereka mempunyai hubungan spesial. Tidak mungkin hanya sekedar teman jika Kevin sampai mau repot-repot mengantar gadis itu periksa.

"Ayo masuk." Tanya Tante Runa kepada Shalsa menuju ruangan.

Ketika berbalik untuk menutup pintu, wanita itu terheran dengan Kevin yang akan menyertakan diri ikut masuk. "Kamu kenapa ikut? Tante nggak bakal macem-macemin pacar kamu."

"Tolong diperiksa dulu ya, Tan. Kevin jelasin nanti."

Mendengar ucapan Kevin, membuat Runa menatap bingung keponakan dari sang suami itu. Wajahnya mulai ragu, menyadari ada yang tidak beres pada situasi yang sedang berlangsung.

🌻

Setelah menanyakan segala macam gejala dan indikasi yang dialami Shalsa, Runa semakin tidak percaya dengan kemungkinan yang ia pikirkan.

"Maaf sebelumnya, kamu... pernah melakukan hubungan dewasa?" Tanya Runa memastikan. Hanya ini pertanyaan terakhir yang mampu membenarkan hasil diagnosanya.

Shalsa seketika terkesiap. Ini yang dia takutkan. Pertanyaan mengerikan itu terlontar. Detak jantungnya bertalu, berpuluh-puluh kali menjadi lebih cepat. Shalsa menggigit bibir bagian dalam, menahan malu. Dia tidak kuasa menjawab. Sehingga, yang ia lakukan hanya menunduk, dengan cengkraman tangan menguat.

Melihat respon gadis di hadapannya, membuat Runa menyadari satu hal. Wanita itu segera beranjak. Menenangkan Shalsa yang mulai meneteskan air mata.

"It's okey. It's okey sayang. Maaf ya, Tante lancang." Tangan Runa mengelus punggung Shalsa. Berusaha membuat situasi tetap kondusif dan nyaman bagi pasien.

Shalsa menggeleng. Bukan salah Dokter Runa menanyakan hal penting semacam itu. Tapi dia saja yang tidak siap, dan malah terbawa perasaan seperti sekarang.

Setelah Shalsa lebih tenang, Runa kembali meminta maaf. "Tunggu sebentar, ya." Dia butuh Kevin untuk mencari penjelasan.

Kevin segera berdiri dari kursi ruang tunggu saat melihat Tantenya keluar dari ruangan.

"Tante butuh pemahaman dari kamu. Sekarang."

"Shalsa gimana?"

"Dia pacar kamu?"

Kevin mengangguk. Matanya memandang ruang praktik sering kali.

"Dia... kamu...." Runa bahkan tidak bisa berkata-kata untuk menanyakan hal yang sebenarnya terjadi. Sedikitpun, dia tidak pernah membayangkan jika keponakannya akan mengalami masalah fatal di usia remaja. Dia mengenal baik bagaimana Kevin bergaul. Meskipun tampak nakal, dia yakin, laki-laki itu tidak akan bertindak sejauh ini untuk merusak masa depannya.

"Nggak seperti yang Tante bayangin..." Kevin kembali duduk dengan tenang. Ia mulai bercerita secara terbuka dan sejujur-jujurnya kepada wanita tersebut. Sesekali pandangan Kevin mencuri fokus pada ruang praktik. Tempat di mana Shalsa masih berada di sana seorang diri.

31/03/24

REFLECTION Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang