2.0 Nightmare

3.2K 197 34
                                    

Di bawah langit cerah, di atas aspal mulus, Mobil BMW 7 Series berwarna hitam melaju konstan. Semua berjalan sempurna, tidak ada yang cacat. Hari yang cerah, pada musim gugur, bersama orang tersayang. Kombinasi paripurna.

"Unnie, jika seperti ini, kita akan sampai di rumah tahun depan. Biar aku yang menyetirnya. Aku sungguh tidak apa-apa."

"Diam, Hwang Jennie. Kau baru selesai operasi. Keselamatanmu itu tanggung jawabku sebagai kakakmu."

Jennie mendesah pelan, sepelan mobil itu melaju. Tidak ada apa pun selain rasa bosan. Dia sudah begitu lama berada di rumah sakit. Ingin segera pulang dan melakukan banyak hal. Yang paling besar, membawa Jisoo pulang sehingga keluarga Hwang bisa kembali utuh. Jennie berjanji, saat Jisoo menginjakkan kaki di mansion Hwang, Jennie tidak akan memberi Jisoo jalan untuk kembali menghilang.

Jennie kembali menatap Jisoo. Melihat wajah serius itu mengingatkannya pada sesuatu. Sepertinya sudah lama Jennie tidak melihat kakaknya tertawa.

"Unnie, tertawalah untukku."

Jisoo tidak percaya bisa mendengar permintaan itu sekarang. Saat situasi sedang serius, bagaimana mungkin dia bisa tertawa tiba-tiba? Permintaan Jennie sedikit gila, tidak, Jennie yang gila.

Tanpa berpikir lagi Jennie mencolek perut samping kakaknya. Jisoo tersentak secara otomatis. "Jennie-ya! Jangan begitu."

Bukannya Jisoo, justru Jennie yang tak bisa menahan tawanya. "Unnie, kau sudah sebesar ini. Kenapa masih gelian?"

Nafas Jisoo menderu kesal. Sepertinya menghinanya menjadi hobi baru Jennie. "Jangan mengajakku bicara sekarang. Aku sedang mengemudi. Duduklah dengan tenang."

Sesuai permintaan Jisoo, lima belas menit dalam mobil itu berlalu dalam keheningan. Jisoo berdehem beberapa kali untuk menarik perhatian. Namun, Jennie masih diam tanpa balasan.

"Apa kau marah?"

Jennie melirik Jisoo sedikit jengkel. "Kau kan menyuruhku diam, makanya aku diam. Jadi orang kok tidak punya pendirian."

Jisoo menarik nafasnya menahan diri. Dia tidak pernah suka beradu omelan dengan Jennie. Jisoo lebih senang saat bisa menurunkan kekesalan Jennie. Diciptakan kembar, tapi berbeda dalam segala hal merupakan sesuatu yang menarik.

"Bisa tolong ambilkan ponselku di laci depanmu?"

Jennie memutar bola matanya merasa keberatan, dengan ogah-ogahan membuka laci itu. Laci itu hampir kosong, tidak ada ponsel di sana. Hanya terdapat sebuah amplop.

Jennie melirik Jisoo dengan senyum ge-er nan menggemaskan miliknya. Namun, sesegera mungkin Jennie memangkas senyumnya berganti dengan wajah sok sinis. "Apa ini?"

Itu adalah pertanyaan yang paling Jisoo tunggu-tunggu. "Tiket berlibur ke Jepang. Untuk kita berempat." Senyumnya mengembang dengan cepat.

"Berempat?" Jennie melempar amplop yang belum sempat dibuka itu sembarangan. "Kenapa mereka harus ikut ke manapun kita pergi? Biarkan mereka cari liburan sendiri. Kita bukan ibu mereka."

"Kenapa kau masih bersikap seperti itu? Mereka selalu menunggumu bangun saat kau tertidur. Mereka menjagamu lebih dari aku menjagamu. Mereka selalu ada untukmu. Kau bukan lagi adik bungsuku. Kau juga kakak mereka, dan-"

"Seorang kakak perempuan adalah cerminan seorang ibu bagi adiknya."

"Bagus sekali! Akhirnya kau mengerti." Jisoo memandang wajah adiknya dengan senyum damai. Akhirnya semuanya berlalu. Semua rasa sakit, rasa takut kehilangan, dan kekhawatiran. Semua rasa itu akhirnya binasa.

Jennie sudah berjuang dengan baik. Dia mendapatkan kembali hidupnya. Hingga bisa sehat seperti semula. Tidak ada hal yang lebih Jisoo inginkan dari itu.

Twins 2 ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang