03 : Penjara

438 60 3
                                    

"Arthur Raksanendra!"

Baru melangkahkan kaki memasuki rumah, pendengaran Aksa menangkap satu suara tegas yang tak ia harapkan untuk didengar.

Suara ayahnya.

"Habis dari mana kamu?"

Aksa memejamkan mata, menipiskan bibir sebelum akhirnya berbalik menghampiri ayahnya.

"Papa dari kapan pulang? kenapa enggak ngabarin Asa? kan bisa Asa jemput dibandara"

"Kamu tau kan papa tidak suka mengulang pertanyaan!"

Kembali, Aksa memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya menghembuskan nafas menjawab pertanyaan ayahnya.

"Dari taman"

"Sudah papa katakan fokus kamu hanya pada tujuan awal yaitu menjadi penerus papa! tak perlu terus bermain-main, Asa!" sentak sang ayah.

Aksa tak membalas, dua tangannya erat memegang buku gambar serta pensil 2B yang sudah patah akibat ia yang terlalu keras menggenggamnya.

"Sekarang papa tidak mau lagi melihat kamu dengan buku gambar itu!"

"Iya, Pa"

"Masuk kamar! papa sudah menaruh jurnal yang harus kamu pelajari"

Aksa mengangguk menurut berjalan memasuki kamarnya.

Helaan nafas lelah ia hembuskan, tekanan itu lagi.

Aksa lelah, umurnya bahkan belum genap 17 tahun tapi sudah harus mempelajari cara mengelola perusahaan.

Buku-buku tebal selalu menjadi bacaan tiap harinya, jurnal-jurnal serta apapun hal yang menyangkut perusahaan selalu diberikan padanya.

Target ayahnya adalah menjadikan Aksa penerus sebelum pemuda itu masuk jenjang perkuliahan.

Entah apa yang difikirkan ayahnya karena yang jelas Aksa lelah, ia tercekik, rasanya seperti dipenjara dirumah sendiri.





Tring.



Satu chat masuk dari Ree—sepupunya.

Ree
Billiar kuy

Aksa
Gak bisa

Ree
Gak asik lo

Aksa
Ada papa

Ree
Oh







Jujur saja Aksa iri kepada dua sepupunya—Ree dan Stella—mereka bebas melakukan apapun yang mereka suka karena tidak pernah mendapatkan kekangan dari kedua orang tuanya.

Ayah Aksa adalah putra pertama, mungkin karena itulah ia menjadi pribadi tegas yang selalu diandalkan oleh dua saudaranya.

Kakek Aksa membangun perusahaan dari nol sampai menjadi salah satu perusahaan raksasa terbesar diasia.

Dari situlah peran ayahnya semakin menonjol, kakek Aksa selalu menunjuk ayahnya utuk segala hal, karena ia anak pertama maka didikan terhadapnya keras hingga membuatnya melakukan hal sama kepada Aksa, putranya.







—🧚‍♀—




Sore hari.

Seperti biasanya, Eira duduk diam dibangku panjang, matanya menerawang jauh mencari.

"Kok enggak keliatan ya?" gumamnya.

Dua mata cantiknya terus berpendar kesana kemari, namun tak jua menemukan apa yang dicari.

"Udah hampir gelap gini, apa gak dateng ya?"

Eira masih mencari, tapi akhirnya hanya lengkungan bibir kecewa yang ia dapat.

Pemuda itu tak ada, ia tak datang.

"Besok kali ya, mungkin sekarang dia lagi sibuk"















Sedangkan, ditempat lain.

Aksa termenung diam menopang dagu dengan satu tangan, matanya sayu tapi tertuju tepat pada langit orange yang terlihat dari jendela kamarnya.

Jurnal-jurnal, lembaran kertas serta buku-buku besar yang berhubungan dengan perusahaan berserakan diatas meja belajarnya.

Aksa lelah.

Setiap pulang sekolah sudah harus kembali belajar, ia tak punya waktu bermain seperti anak-anak sebayanya, waktu tidurnya terkuras, saat OSN kemarin pun ia sering tak ikut pembelajaran kelompok bersama dua partnernya, Haksa dan Misya, hanya karena harus mempelajari segalanya tentang perusahaan.

Dan bahkan saat ini sedang libur kenaikan sekolah pun yang Aksa lakukun hanya belajar.

Impian Aksa adalah menjadi seorang pelukis yang karyanya bisa dikenal banyak orang, tidak hanya melukis, Aksa juga menyukai fotografer, pemuda itu bahkan selalu membawa kamera kemanapun ia pergi.

Tapi, impian serta hobi yang ia miliki harus ia kubur dalam-dalam.

"Kira-kira dia ketaman gak ya?" gumamnya.









—🧚‍♀—







Tangerang, 28 Juni 2022






Orange √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang