41. Zona dan Papa

693 33 3
                                    


Flashback.

"Saya nggak bisa ninggalin anak saya buat ke luar negeri sekarang," kata Dzul masih berbicara dengan seseorang lewat sambungan telepon.

"Ya kan anda tahu sendiri proyek ini milik perusahaan anda. Saya benar-benar tidak bisa membawa anak saya kemana-mana. Dia butuh mamanya."

"Saya tidak peduli meskipun gagal. Saya akan segera membatalkan kontrak kalau memang anda tidak bisa menunggu sampai bulan depan."

Dzul terduduk dengan perasaan kesal setelah sambungan telepon terputus. Dia meneguk kopi yang sudah mulai dingin. Otaknya dipenuhi dengan Zona yang sedang sakit.

Dia bahkan rela meninggalkan anaknya ke luar kota demi seseorang yang Alea kenal itu.

Pria berusia 30 tahunan itu menarik nafas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum bertemu teman Alea.

Jakarta ke Bandung memang hanya butuh waktu sekitar 3 jam kalau perjalanan lancar dan tidak macet. Tapi meninggalkan Zona disaat anak itu sedang demam, rasanya seperti pergi ke seberang pulau.

Dzul melirik jam di tangannya. Perempuan itu sudah telat 1 jam dan Dzul masih sabar menunggu.

Laki-laki itu hendak menekan tombol panggil setelah menemukan kontak bernama Cantika Widya.

"Mas Dzulkifli?" panggil seseorang dari arah samping.

Dzul sedikit terkejut hingga telepon genggamnya hampir terjatuh.

"Y-ya?" sahut Dzul sedikit terbata. Dia tiba-tiba kaku di depan perempuan itu.

Senyuman ramah dengan paras yang ayu. Perempuan itu terlihat lebih muda daripada Alea.

Ah, tidak. Alea tidak terlihat seperti ibu-ibu. Alea awet muda menurutnya, tapi perempuan ini lebih muda di mata Dzul.

"Boleh saya duduk?" tanya Cantika meminta izin.

"Oh, tentu, tentu!"

"Saya Cantika Widya, teman mbak Alea," Cantika mengulurkan tangannya hendak bersalaman.

Dzul masih sedikit terkejut dengan kehadiran perempuan cantik itu.

"Dzul. Dzulkifli. Kakaknya Alea," balas Dzul sambil menjabat tangan perempuan itu dengan lembut.

"Maaf, ya? Saya terlambat sekitar satu jam lebih. Bukan karena macet, karena saya memakai motor sendiri. Tapi karena pekerjaan saya," jelas Cantika dengan senyum yang tidak pernah tidak ramah.

"Mau pesan sesuatu?" tawar Dzul tak kalah ramah.

"Boleh. Saya lapar," jujur perempuan itu dengan sedikit cengiran. Dzul dibuat terkekeh kecil olehnya.

Setelah memesan beberapa menu, Dzul kembali memperhatikan Cantika dengan seksama.

Penampilan perempuan itu sangat sopan dan anggun. Rambut sepunggung yang terurai rapi, serta cara bicara yang ramah.

Alea benar-benar tahu tipenya.

"Maaf, mas, sebelumnya. Saya tidak pernah mengobrol kalau sedang makan. Tapi saya bisa mempercepat makan saya biar kita bisa ngobrol lebih banyak."

"Oh, nggak nggak! Nggak masalah. Santai aja. Lagian belum sore."

"Tapi kata mbak Alea, Mas Dzul sempat nolak datang kesini karena Zona lagi sakit?"

"Ah?" Dzul menggaruk pelipisnya. "Nggak apa-apa. Alea bisa jaga Zona lebih baik daripada ayahnya," jawab Dzul.

Tidak tahu kenapa, rasa khawatir pada Zona seketika hilang setelah melihat bidadari di depannya itu.

Our Journey (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang