47. Hari Balas Dendam

253 18 1
                                    


Sudah 3 jam Ryan berlutut di hadapan Silva yang masih duduk bersimpuh di pinggir ranjang dengan air mata yang tak henti-hentinya mengalir.

Dia tidak ingin menangisi suaminya yang selingkuh. Dia hanya menatapi dirinya yang bodoh karena tidak menyadari, ternyata selama ini Ryan memilih childfree demi wanita sampah itu.

Silva menerima semua keputusan Ryan dan lebih memilih fokus pada suami dan pekerjaannya sebagai seorang banker.

Ternyata dia merelakan dirinya sendiri menjadi mainan suaminya dengan ikatan sah.

Wanita itu mencoba meredakan sesenggukannya dengan menarik nafas dalam berkali-kali. Dia bahkan tidak ingin melihat suaminya yang masih dalam keadaan yang sama.

"Aku nggak bisa," Silva menggeleng cepat. "Aku nggak bisa hidup sama kamu lagi," katanya.

Ryan mendongak dan menatap Silva dengan tatapan bersalah. "Sayang, please... Aku nggak mau rumah tangga kita berakhir," balas Ryan memohon. Mata laki-laki itu memerah karena menangis tanpa suara.

"Kamu jahat, mas!" Silva melempar bantal ke arah suaminya. "Kamu udah nyakitin aku dan nggak mau tersakiti gitu?"

"Aku nggak akan kembali sama dia! Aku mau sama kamu!" seru Ryan.

"Kamu tahu sendiri aku nggak suka berbagi apa yang udah jadi milik aku ke orang lain," Silva kembali menangis. "Tapi kamu bikin aku rela berbagi sama wanita menjijikan itu mas!"

"Kamu itu milik aku! Aku nggak suka berbagi sama siapapun!" teriak Silva kesal.

Ryan menunduk malu. Dia tidak bisa menjawab lagi dengan alasan apapun. Mau bagaimanapun dia memang sangat salah.

"Kamu pikir aku hidup bergantung sepenuhnya sama kamu? Kamu lupa aku juga bisa mandiri tanpa kamu? Kalau aku mau aku juga bisa dapat laki-laki yang lebih baik dari kamu!" Silva menarik nafas dalam.

"Aku nggak bisa hidup sama bekas orang lain," kata Silva sambil menatap tajam suaminya. "Besok aku pulang ke rumah mama dan jangan coba-coba cegah aku. Setelah itu kamu bisa berbagi kamar kita juga sama dia tanpa harus sembunyi-sembunyi dan keluar kota," sindirnya.

Silva beranjak pergi meninggalkan Ryan yang masih bersimpuh di lantai. Laki-laki itu hanya bisa menunduk diam dan meratapi kepergian istrinya.

⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️

Silva berdiri sedikit jauh dari Alea yang saat ini sedang sibuk menyiduki air ke ember. Wanita itu menatap Alea sedikit jijik. Dia tidak menyangka teman suaminya yang kini sudah ia anggap kakak sendiri itu begitu berani.

"Mbak yakin nggak apa-apa?" tanya Silva yang kini menutup hidungnya rapat-rapat menggunakan jari telunjuk.

Alea masih menyiduki air itu ke dalam ember sambil sesekali melirik ke sekitar, takut ada orang yang melihat mereka.

"Dari dulu gue pengin banget ngelakuin ini," kata Alea dengan semangat.

Silva membuka botol air mineral dan mengguyurkan isinya pada tangan Alea yang mengulur ke arah ember.

Membayangkan dirinya akan berubah jadi orang yang lebih tegas membuat Silva sedikit termenung. Apakah yang dia lakukan ini benar atau harusnya tidak dia lakukan?

Alea menepuk pundak Silva yang tiba-tiba terdiam.

"It's okay. Setelah ini semuanya akan berakhir dengan baik. Terserah sama pilihan lo mau gimana. Yang jelas kita nggak bisa diam aja saat ini," kata Alea. Silva tersenyum dan mengangguk mantap.

Mereka berjalan beberapa meter dari tempat mengambil air got tadi. Alea membawa ember itu, sedangkan Silva membawa sebuah koper berukuran sedang.

Alea berhenti di depan pagar sebuah rumah dengan cat cream yang lumayan cerah. Dari awal masuk ke komplek, sampai berdiri di depan gerbang rumah itu, hanya rumah yang mereka datangi ini yang lumayan megah.

Our Journey (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang