37. Penonton

656 56 3
                                    


Dinda tertidur pulas setelah meminum obat penurunan panas. Anak perempuan berusia 5 tahun itu sudah 3 hari tidak mau sekolah, bermain, bahkan makan pun susah.

Sintya hanya mengandalkan Alea untuk menjaga Dinda selagi ia bekerja. Tapi, hari ini suhu badan Dinda semakin tinggi, membuat Alea terpaksa menelepon Erika yang sedang bebas tugas karena cuti hamil.

Setelah diperiksa, Dinda hanya demam biasa. Hanya saja karena dia susah makan, otomatis juga tidak mau minum obat, membuat demamnya tak kunjung turun.

Erika pamit pulang karena meninggalkan Imelda, anak pertamanya sendirian. Gadis kecil itu juga sedang kurang sehat.

"Gue ketemu Erika di depan. Katanya dia buru-buru," kata Sintya yang tiba-tiba nongol tanpa ucap salam.

Sintya langsung mendekat dan mencium kening anak sulungnya yang kini tertidur pulas.

"Katanya bakal cepat sembuh kalau minum obatnya rutin. Sebisa mungkin kita kasih makan Dinda, biar perutnya nggak kosong," jelas Alea, seperti yang Erika katakan tadi.

"Anak ini susah makan kalau lagi sakit. Bawa Avian sama Zona ke sini, biar dia mau makan."

"Iya, nanti gue bilang ke Papanya anak-anak," Alea mengamati wajah anak gadis kecil itu sambil tersenyum. Dia juga ingin punya anak perempuan.

"Sin," panggil Alea saat Sintya selesai mengganti pakaiannya. "Gue hamil lagi," kata Alea.

Sintya terdiam sejenak, kemudian duduk di sofa sambil menatap sahabatnya itu dengan wajah serius.

"Jangan kasih tahu ke yang lain dulu, apalagi di grup," Sintya mengambil sesuatu dari tasnya. Dia menunjukkan hasil tespack yang dia lakukan minggu lalu.

"Usia kehamilan gue udah 4 bulan. Gue baru tahu minggu lalu. Gue lupa sama siklus gue sendiri karena sibuk ngurus anak, suami, rumah dan kerjaan."

"Kenapa lo nggak bilang?" tanya Alea. "Ini berita baik, Sin. Kenapa kita nggak boleh kasih tahu yang lain?"

"Lo terlalu sibuk sama anak-anak sampai nggak buka hp, ya?"

Alea mengerutkan keningnya. "Ada apa?"

"Gue dengar percakapan Kak Pandu bareng Duta semalam. Di grup juga rame," Sintya menarik nafas dalam. "Anisa masuk rumah sakit tadi malam."

Sontak, Alea berdiri karena terkejut. "Kok bisa? Anisa sakit apa?"

"Anisa hamil. Tapi kita semua tahu rahim dia sangat lemah. Gue juga belum tahu kelanjutannya," Sintya terlihat bingung juga sedih. Duta pernah bilang dia sangat menginginkan anak biologis seperti yang lain. Meski itu tidak mungkin, tapi sepertinya Duta dan Anisa sama-sama tidak akan menyerah.

⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️

Duta masih duduk di ruangan Arival sambil terus berpikir keras. Sedangkan dokter Arival seperti tidak menganggap keberadaan Duta di sana. Dia sudah mengusir Duta dari tadi.

"Riv, please," kata Duta memohon. Arival menghela nafas pelan. Dia lelah karena harus mengatakan hal yang sama terus-menerus.

"Bunuh obsesi lo. Ini nggak akan bekerja, Duta. Gue udah bilang berkali-kali sama lo kalau Anisa nggak bakal bisa punya anak dari rahimnya. Lo mau bahayain hidup istri lo sendiri?"

"Kita coba berbagai cara. Pasti bisa. Gue udah baca di Internet dan ada caranya," jawab Duta keras kepala.

Arival memijat pelipisnya karena merasa pusing menghadapi temannya yang satu itu.

"Rahim Anisa sangat lemah. Lo tahu itu dari awal, Ta," kali ini suara Arival sedikit lirih. "Lo bahkan lebih milih dia daripada yang lain. Lo nerima dia apa adanya. Kenapa sekarang lo jadi terobsesi punya anak biologis?"

"Gue bukan dokternya Anisa. Tapi lo selalu minta pertolongan ke gue yang nggak bisa nolongin lo. Bahkan dokternya Anisa juga kasih saran buat angkat rahim daripada kejadian yang sama terulang lagi."

"Anisa kesakitan, Ta. Dia bertahan hanya karena kemauan lo. Tanpa sadar lo nyakitin dia. Apa gunanya David dan Sierra?"

Duta terdiam lama. Entah sejak kapan dia jadi egois seperti sekarang. Dia iri hanya karena temannya yang lain bisa memiliki keturunan seperti yang dia inginkan.

Anisa tidak bisa menahan rasa sakit diperutnya lebih lama lagi. Duta bahkan sering melihat Anisa meringis ditengah malam, tapi dia abaikan. Dia anggap itu sebuah proses untuk bertahan.

"Kenapa ...," Duta tertunduk lesu menyadari kesalahan yang ia perbuat.

Arival mendekat dan menepuk bahu Duta beberapa kali. "Temui Anisa, bilang ke dia kalau kalian harus relain semuanya."

"Gue ...," Duta mengusap wajahnya dengan kata-kata yang tak bisa ia rangkai. Dia amat menyesal.

Laki-laki itu menangis meski tak bersuara. Pandu dan Alga yang sedari tadi menunggu di luar ruangan Arival hanya bisa diam saat menerima pesan dari Arival.

Kata penyemangat yang harusnya bisa jadi penyembuh kini tidak berarti bagi Duta. Dia tidak butuh orang lain selain istri dan kedua anak angkatnya.

Dia tersadar, dia juga membesarkan David dan Sierra seperti anak kandung sendiri. Dia tidak seharusnya meminta apa yang tidak bisa Anisa beri padanya.

Karena dari awal Duta sudah berjanji, tidak akan menuntut apapun dan menerima segalanya tentang istrinya.

⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️

Alga masih bermain game online dengan posisi yang sama—tiduran berbantal paha istrinya.

Dua hari ini menjadi pukulan yang berat untuk semua orang. Termasuk Alea Dan Sintya. Mereka hanya bisa mengelus perut mereka, mengetahui ada bayi mungil lagi di dalam sana.

"Aku syok pas Duta tiba-tiba bilang begitu," kata Alea sambil terus mengelus kepala sang suami.

Alga berdecak kesal karena tim game onlinenya kalah. Dia membuang ponselnya ke atas kasur dan merubah posisi jadi miring. Wajahnya sengaja ia hadapakan ke perut istrinya.

"Kalau aku ada di posisi Duta, mungkin kami nggak beda jauh, Sayang. Hanya saja, Allah lebih mengistimewakan Duta dan Anisa. Allah tahu mereka kuat, nggak kayak kita."

Alea tersenyum geli karena Alga berbicara dengan posisi menempel pada perutnya.

"Kita harusnya banyak bersyukur ya, Ga."

"Iya. Makanya jangan ngeluh kalau anak-anak lagi rewel. Itu wajar," Alga kini terduduk sambil menggenggam tangan istrinya.

"Alea, kadang hidup nggak sesuai sama apa yang kita rencanakan. Kemarin mungkin Duta cuma bisa jadi penonton tentang drama hidup kita. Sekarang gantian, kita juga cuma bisa jadi penonton hidup mereka,"

"Ibaratkan drama, wajar kita ikut hanyut sebagai penonton. Pembuat skenarionya adalah sutradara terbaik untuk kehidupan. Wajar kita ikut sedih kalau dramanya lagi sedih. Ikut juga ikut bahagia kalau dramanya juga bahagia."

Alea tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Dia baru sadar ternyata Alga adalah suami, sahabat, juga separuh hidupnya. Dia tersadar kini Alga bukan lagi laki-laki menyebalkan yang selalu membuatnya merasa insecure.

"Kamu imam yang baik," kata Alea. Alga tersenyum manis dan mencium punggung tangan Alea.

"Aku cinta sama kamu dari jaman batu. Kalau sekarang aku nggak bisa jadi imam yang baik, buat apa cinta selama itu?"

Alea tertawa ringan. Hari ini dia lelah, menjaga Dinda dan dua anaknya yang lain. Lelahnya hilang hanya dengan duduk bersama suaminya sambil mengartikan hari yang baru saja berlalu.

"Istirahat. Kamu harus jaga semua orang. Malaikat seperti Mama harus selalu sehat," kata Alga. Alea tersenyum dan mengangguk pelan.

"Besok aku ke rumah sakit, mau nemenin Duta. Semua orang ada meeting kecuali aku."

"Tapi pulangnya jangan terlalu malam, ya?" pinta Alea. Alga mengangguk dan menarik selimut sampai sebatas leher Alea.

"Good night," kata Alga dan mengecup kening istrinnya dengan sayang.

⚫️⚫️⚫️⚫️⚫️

Our Journey (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang