Epilog ❣

76 11 0
                                    

Ponsel Sena bergetar diatas nakas. Jissa yang berada dihadapan Sena segera menyerahkan ponsel tersebut padanya.

"Sayang, bunda sama ayah otw ke Jakarta."

"Mau apa Bunda?" Sena menahan isakannya agar kedua orang tuanya tidak curiga.

"Nggak usah disembunyiin, Ardan udah telepon ayah sama bunda."

"Ardan?"

"Iya dia udah jujur. Ayah marah banget rasanya mau ngehajar dia, tapi nggak jadi karena Ardan siap bertanggung jawab menyerahkan diri ke polisi setelah kami sampai di Jakarta."

Akhirnya tangis Sena pecah. "Trus aku harus gimana bun?"

"Ayah sama bunda menyerahkan semuanya ke kalian nak. Kamu kalau mau memaafkan Ardan ya udah terima dia apa adanya. Ardan juga nggak masalah misal kamu memilih untuk mengakhiri semuanya dan bawa masalah ini ke ranah hukum."

Tidak ada lagi kata-kata yang bisa Sena ucapkan. Sambungan telepon ia akhiri sepihak, tangisnya semakin pecah.

"Sena, gue yakin hubungan lo bakal baik-baik aja." Jissa yang berada disamping Sena hanya bisa menemani sekaligus memberi semangat agar Sena tetap optimis menghadapi semuanya.













***

Ardan memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan Sena, tapi hal itu tak lantas membuatnya bahagia justru semakin terpuruk dalam menikmati kesendiriannya.

Cukup sering Kania dengan tidak sengaja memergoki sang Kakak tengah mabuk, merancu bahkan sampai menangis di rooftop rumah mereka sambil menyebut nama Sena.

Terdapat luka memar dibagian pipi kirinya hasil pukulan Jeffyn pada waktu itu. Kedua orang tuanya juga marah besar dan malu atas tindakan Ardan yang memilih untuk meninggalkan kekasihnya.

Malam ini Kania menyaksikan betapa hancurnya Ardan menangis tak karuan lalu sesekali menenggak minuman beralkohol yang berada di hadapannya.

"Kasian si, tapi ngeselin," ucap Kania dengan nada pelan. Kemudian ia berjalan mengendap-endap seraya mengarahkan kamera gawainya pada Ardan.
"Rekam ah buat kenang-kenangan kalau gue punya Kakak yang begonya nembus langit ketujuh kayak gini."

Ardan tak sadar kelakuan dan rancuan random nya direkam oleh sang adik dari belakang.










***

Keesokan harinya seperti biasa Ardan berangkat menuju Kantornya bersama sang adik--Kania. Adiknya itu selalu menekuk wajahnya selama di perjalanan.

"Ngobrol kek, kamu diem aja akhir-akhir ini," ucap Ardan yang tengah fokus mengemudi.

"Males," jawab Kania dengan nada ketus.

"Papa yang minta kamu jadi sekretaris Kakak, kenapa kamu jadi keselnya ke Kakak?"

"Kalau Bang Jeff nggak pindah, aku nggak akan kerja di Kantor kita Kak. Mana aku juga lagi ribet skripsi." Kania berujar tak terima.

"Nggak usah bahas Jeffyn."

Setelah ucapan final sang Kakak, Kania kembali diam lalu mengalihkan pandangannya ke arah luar kaca mobil.









***

Tak lama kemudian Ardan dan Kania sampai di Kantor mereka.

Saat Ardan dan Kania menunggu lift, Berta berlari kecil menghampiri Boss nya tersebut.

"Pak Ardan!" Seru Berta.

Ardan mengernyitkan dahi melihat ekspresi Berta yang begitu sumringah.
"Ada apa? Ada yang complaint lagi?"

Karena Kamu | (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang