22❣

57 10 0
                                    

Bab 22 : Rahasia Inisial Na

"Sena lo kenapa?!" Jissa yang baru saja pulang dari Kafenya sangat terkejut melihat Sena tengah menangis di ruang makan, wajahnya ia sembunyikan diantara lipatan kedua tangan diatas meja.

"Kak," isak Sena seraya memeluk pinggang Jissa yang berdiri di hadapannya.

Jissa belum mau bertanya lagi, ia hanya mengusap-usap bahu Sena. Jissa biarkan Sena meluapkan segala kesedihannya terlebih dahulu sampai benar-benar siap untuk bercerita.

"Gue ambil minum dulu ya," ucap Jissa dengan nada lembut. Sena menganggukan kepala lalu pelukannya mulai melonggar.

Jissa meletakan tasnya diatas meja setelah itu ia berjalan menuju lemari pendingin. Ia ambil dua kaleng minuman isotonik untuk dirinya juga Sena.

"Minum dulu. Gue tunggu sampe lo siap cerita."Jissa mulai duduk di kursi yang berhadapan dengan Sena.

Wajah merah serta hidung berair Sena membuat Jissa merasa iba. Entah berapa jam adik sepupunya itu menangis sampai kedua matanya menyipit karena terlalu sembab.

"A-Ardan nembak gue Kak. Dia bilang dia sayang gue, dia mau kita punya hubungan yang serius, tapi gue tolak." Lagi, air mata Sena kembali menetes di kedua pipinya.
"Gue bilang gue nggak pantes buat dia, dia malah nyangka gue nolak dia cuma sebuah alasan. Dia berpikir gue bakal nerima Jeffyn daripada dia. Gue harus gimana Kak?" Isakan Sena terdengar semakin memilukan.

"Lo nolak karena kekurangan lo?" Tanya Jissa. Sena menganggukan kepalanya.

Jissa mendengus pelan kemudian melipat kedua tangannya di dada.
"Sampai kapan Sena? Sampai kapan lo nyiksa diri sendiri cuma karena kekurangan yang lo punya?"

"Gue takut Kak. Gue takut Ardan tau kalau gue ini perempuan cacat."

"Enough Sena! Jangan jadi perempuan bodoh bisa nggak?"
Jissa menyapu rambutnya ke belakang dengan kasar. Kedua matanya menatap Sena penuh emosi.
"Lihat Sena diluar sana banyak perempuan yang memiliki kekurangan fisik dan mereka bisa menemukan jodohnya, begitu juga lo. Lo berhak bahagia ngerti?!"

"Tapi Kak."

"Ada dua pilihan." Jissa memotong ucapan sena.
"Lo jujur ke Ardan atau lo pergi dari hidup Ardan sekalian. Andai diterima ya bagus berarti Ardan tulus, tapi kalau ditinggal lo jangan kecil hati karena dunia nggak akan runtuh. Masih ada Ayah, Bunda, gue dan Jeffyn yang siap terima lo apa adanya."

Sena tampak berpikir keras tentang keputusan apa yang akan ia ambil. Bibirnya mengatup rapat. Sena belum siap jujur, tapi ia juga tidak bisa jika harus meninggalkan Ardan.

"Lo udah berapa kali nolak cowok, baru kali ini terpuruk banget Sen. Lo tau kenapa gue berani taruhan Apartmen ini?" Posisi duduk Jissa menegak, telunjuknya mengarah pada dada bagian kiri Sena. "Karena gue tau lo bakal kalah, dari awal lo udah keliatan banget suka sama Ardan. Ardan udah berhasil menangin hati lo."

"Jadi lebih baik gue jujur aja kak?"

Jissa kembali bersandar pada kursi. "Keputusan ada ditangan lo."

"Na," lirih Sena dalam hati sambil menunduk menatap jari-jari lentiknya yang saling meremas. Hanya dua huruf itu yang ia ingat tentang pria yang telah mencelakainya beberapa tahun silam.

"Tidur Sen, jangan bergadang ya. Besok selesain lagi," ucap Jissa seraya mengusap pucuk kepala Sena lalu beranjak pergi menuju kamar mandi.

"Iya Kak."









***

"Dan, are you oke?"

Ardan berhambur memeluk seseorang yang berdiri dengan ekspresi heran di hadapannya.
"Sena nolak aku," lirih Ardan.

"Ayo masuk dulu kita cerita di dalam," ajak si pemilik Apartmen. Pelukan Ardan melonggar, ia berjalan lemas menuju sofa.
Si pemilik Apartmen bergegas mengambil sebotol minuman air mineral lalu ia sodorkan pada Ardan.

"Udah Confess?" Tanya si pemilik Apartmen.

Ardan menganggukan kepala setelah menenggak setengah botol air mineral miliknya.

"Sena bilang alasan dia nolak?"

Ardan menggelengkan kepalanya. "Dia nggak bilang Cla, dia cuma bilang nggak pantes buat aku."

Clara, gadis berambut blonde itu mengusap bahu Ardan secara teratur untuk memberikan ketenangan. "Trus kamu marah? Kamu pasti langsung pergi ya ninggalin dia?"

"Iya, aku kesal Cla." Ardan menatap wajah Clara, kerutan mendadak muncul di dahinya saat Clara malah tersenyum di hadapannya. "Kamu kenapa senyum?" dengus Ardan.

"Mau banget ya diterima sama dia?" Clara mengangkat kedua alisnya, Ardan sadar sedang digoda. Namun, ia tidak mau menanggapi.

"Aku juga nggak tau kenapa rasa tanggung jawab ini berubah jadi cinta. Sena punya daya tarik tersendiri Cla."

Clara terkekeh kecil sambil bersandar pada punggung sofa. "Kamu bukan cuma mau menebus kesalahan Dan, tapi kamu udah jatuh cinta beneran sama dia."

Bibir Ardan mengatup rapat, pipinya merasa panas secara mendadak.
"Iya dan sepertinya udah susah buat berpaling," ucap Ardan dengan pelan.

"Yeah udah kelihatan si dari emosi kamu yang menggebu-gebu." Clara tertawa puas setelahnya.

"Nggak usah diperjelas, kamu psikolog pribadi aku Cla jadi pasti tau apa yang aku rasakan. Awalnya aku cuma mau berbuat baik, tapi nggak tau kenapa aku merasa sulit untuk berjauhan dengan dia. Aku juga nggak rela dia balik lagi sama Jeffyn. Aku berjanji dengan diri aku sendiri untuk membahagiakan dia sampai kapanpun, tapi aku malah nyakitin lagi bikin dia nangis lagi." Ardan meremas rambutnya frustasi, cairan bening mulai menetes dikedua pipinya sambil menunduk resah.

"Dan, pelan-pelan ya. Kamu bicarakan lagi sama Sena. Mungkin waktu dan tempatnya aja yang nggak tepat. Kita juga nggak tau kenapa dia menutup diri dari sebuah hubungan."

"Dia nangis lagi gara-gara aku Cla, dia terluka lagi." Ardan menggelengkan kepala dengan cepat. Ardan tak tega mengingat wajah sendu Sena di dalam mobil saat mereka bertengkar.

"Hei nggak Dan, tenang."
Clara mengerti keadaan Ardan dari awal memiliki depresi berat beberapa tahun silam. Selain sebagai sahabat Clara juga seperti seorang Kakak bagi Ardan. Semenjak Ardan kembali dari Amerika ke Indonesia, Clarapun ikut ke Indonesia karena gadis blasteran tersebut memiliki kekasih yang tinggal di Jakarta.

Ardan masih menangis pilu. Meski depresinya sudah sembuh, tapi Ardan tak bisa melupakan kesalahan fatal yang ia perbuat terhadap Sena di masa lalu.
Nyawa Sena hampir melayang karena kelalaiannya.

"Dan, besok bicarakan lagi ya secara baik-baik dengan Sena." Clara menepuk-nepuk pelan bahu Ardan agar pemuda itu kembali tenang.

"Apa aku langsung ngaku aja Cla?"

"Kamu sama aja mendorong dia lebih jauh Dan kalau langsung ngaku. Bukan cuma menolak, bisa jadi Sena membenci kamu seumur hidup. Slowdown oke, ambil hatinya pelan-pelan. Kalau dia udah bisa terima kamu, silakan akui semua kesalahan kamu. Setelah itu kamu harus siap menerima reaksinya. Kalaupun dia akhirnya benci kamu ya itu sudah resiko, tapi setidaknya kamu udah sempat berbuat baik dan jangan lupa untuk meminta maaf dengan tulus."

Bahu Ardan menegak, ia hapus air mata yang masih meninggalkan jejak di pipinya.
"Oke, nanti aku bicarain sama dia," ucap Ardan dengan mantap.

.
.
.
.
.
Bersambung...

(27 Maret 2022)

Revisi 29 Juni 2023

Karena Kamu | (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang