#25 - Luka

630 46 6
                                    

⚠️⚠️⚠️ trigger ⚠️⚠️⚠️

.

.

.

"Tendraaaaa." Ucap Adis begitu dirinya sampai di kantin fakultas, menghampiri Tendra yang sedang menyantap sepiring ketoprak.

"Kenapa Dis?"

Adis menundukkan kepalanya, "Semalem."

"Semalem kenapa?"

"Semalem, gue sama Devan-"

"NGAPAIN?!"

"Telponan."

Tendra memutar bola matanya, "Cuma telponan, Dis. Atau karena itu kalian jadi balikan?"

"Balikan apanya? Kan gue sama dia nggak pernah ada apa-apa." jawab Adis santai.

Duh, gimana ya, inilah yang Tendra khawatirkan. Bukan soal Adis yang nantinya akan disakiti oleh Devan, justru sebaliknya, Devan yang akan lelah menunggu Adis.

"Iya, iya. Terus kenapa kalau telponan?"

"Soalnya kan gue yang chat dia duluan, malu banget, Ten." Adis menutupi wajahnya sebab rasa malu itu masih terasa.

"Lho nggak apa-apa kali, Dis. Sesekali cewek duluan lah yang mulai, jangan cowok terus yang cari obrolan."

"Harusnya emang nggak apa-apa, tapi ini tuh... apa ya," Adis memegangi kepalanya, "Ini tuh gara-gara pulang rapat pada ngomongin dia, gue jadi kepikiran— ketoprak gue udah dibikinin belum?"

"Tadi udah gue pesenin, terus gimana?" Tanya Tendra yang tengah sibuk mengaduk es teh manis, gulanya masih mengendap di dasar gelas.

"Ya terus jadi khawatir aja kalau dia belum pulang, atau bahkan kecapean. Pasti dia pusing banget, belum lagi tugas kuliah juga lagi banyak-banyaknya." Lanjut Adis.

Benar sekali, malam sebelumnya, setelah rapat beberapa pengurus yang masih tersisa memang sempat membicarakan Devan.

Mulanya sih sedang membicarakan soal kebijakan yang baru saja dikeluarkan oleh rektorat, tapi jadi menerus hingga membahas ketua mereka yang masih berada di sekre BEM Universitas.

Memang bukan hal yang baru sebetulnya, lagipula bukan hanya Devan yang kerap kali pulang lebih telat. Kun, wakilnya pun demikian, bahkan beberapa pengurus yang lain pun demikian.

Jadi, mungkin ini lebih ke soal Adis yang... denial?

"Makan dulu." Tendra menggeser piring ketoprak milik Adis yang baru saja sampai, "Nggak apa-apa Dis, lagian situasinya lagi begini, banyak yang perlu diurusin. Khawatir lo hal yang wajar kok."

"Tapi ya, dibanding nunjukin rasa khawatir, gue rasa semalem yang gue lakuin itu malah ngeganggu dia."

"Kata siapa?"

Adis mengaduk ketoprak tersebut, memastikan bumbunya tercampur dengan sempurna "Kata gue."

"Kenapa berasumsi begitu?"

"Karena awalnya kan gue bilang ada yang mau gue bahas soal audiensi, terus begitu tau dia baru pulang ya gue bilang aja nggak jadi."

"Terus?"

"Terus akhirnya Devan nelpon gue, mungkin maksud dia biar sekalian kali ya, tapi ya akhirnya tetep aja, gue bilang nggak jadi, selesai."

Tendra menepuk jidatnya, sebab menurutnya Adis nih naif banget, pokoknya cemen deh kalau soal percintaan.

"Makan dulu sih menurut gue, soalnya omongan lo ngelantur banget."

Adis mengangguk setuju, dirinya memang sedang lapar sekali, juga Tendra yang sejak tadi mendiamkan makanannya, untung ini ketoprak mau didiamkan seberapa lama pun nggak akan masalah.

AKSITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang