P R O M I S E -5-

983 111 7
                                    

Jeno terus memainkan bola basketnya, tak jarang di melemparnya ke sembarang arah lalu menangkapnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jeno terus memainkan bola basketnya, tak jarang di melemparnya ke sembarang arah lalu menangkapnya. Jaemin menghela napas melihat Jeno yang hanya diam sedari tadi, baik Haechan maupun Renjun juga tidak ada yang berani bertanya. Mereka hanya menunggu Jeno yang akan berbicara duluan.

"Aish! Kenapa aku seperti ini," Jeno melempar bola itu dan pergi dari lapangan. Dia pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya.

Jeno menatap wajahnya dibalik cermin, dia mengepalkan tangannya pada wastafel di toilet itu.

"Aku harus bekerja lebih keras lagi... tidak akan kubiarkan 3 pria itu mengganggu eomma," tekad Jeno.

Setelah dari toilet, dia menyusul ketiga temannya yang berada di kantin. Tapi langkahnya terhenti karena ada panggilan untuknya, jika ibunya datang ke sekolah.

"Eomma! Ada apa?" tanya Jeno saat menemui ibunya di dekat gerbang sekolah.

"Kau pasti meninggalkan tugasmu ini 'kan? Tadi pagi, kau meninggalkannya di atas meja makan, jadi eomma mengantarkannya untukmu," jelas Seoyeong.

"Wah! Gomawo eomma! Aku hampir lupa dengan tugas ini... untung saja, jika tidak mungkin aku akan dihukum," Jeno mengambil makalah di tangan ibunya.

"Oh ya, ngomong-ngomong eomma tidak pergi bekerja?" tanya Jeno.

"Ah... eomma diberikan cuti satu hari," jawab Seoyeong.

"Eoh? Tumben sekali memberikan cuti."

"Nanti kita bicara lagi di rumah, sudah kembali masuk sana. Bukankah ini jam makan siang, kau harus segera makan. Ingat! Jangan lewatkan makan siang walau hanya sekali, arrasseo?"

Jeno mengangguk.

"Hati-hati di jalan..."



"Kau sudah menghubungi adik dan ibumu?" tanya Yuta, dia sudah mengetahui jika Taeyong mendapat nomor ibu dan adiknya dari Johnny.

Taeyong menggeleng, "aku masih belum berani...meski hanya menyapanya," ungkap Taeyong. Sudah berkali-kali dia membulatkan tekad, tapi tetap saja dia kembali mengurungkan semua itu.

"Why? Kau ada salah dengan salah satu dari mereka? Bukankah kau bilang ayah ibumu bercerai dengan damai?"

Taeyong menghela napasnya, "iya, mereka memang bercerai dengan damai. Tapi sayangnya... adikku, Jeno kurang menerima itu. Dan aku mengingkari janjiku padanya," jelas Taeyong.

"Janji?"

Taeyong mengangguk, "kita pernah berjanji untuk selalu ada dan tidak pernah meninggalkan. Tapi, aku mengingkarinya...aku bahkan meninggalkannya. Aku sudah mencoba menjelaskan padanya, tapi dia tetap marah."

PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang