Vania POV
Menikah.
Satu kata yang bagiku penuh makna dan nilai. Sebuah pernikahan adalah ikatan yang sakral antara seorang laki-laki dan perempuan yang saling mencintai. Sebuah jalinan benang kuat yang akan menuntun pada sebuah kebahagiaan. Menurut ku itulah makna dari sebuah pernikahan.
Aku adalah seorang perempuan yang telah menikah. Dia melamar ku dengan penuh keseriusan tanpa banyak basa-basi lagi. Kami menikah tepat di hari ulang tahun ku yang ke 18. Jangan tanya apakah aku syok, tentu saja aku syok sekali. Aku menikahi pria yang usianya dua kali lipat dariku. Dia seorang laki-laki dewasa yang masih lajang dan terlihat bijaksana.
Aku dan dia dipertemukan Tuhan dengan cara yang mengejutkan. Dia adalah seorang narasumber di seminar yang pernah aku hadiri bersama orang tuaku dan akhirnya terpikat denganku. Itu terjadi begitu cepat hingga akhirnya kami memutuskan untuk menikah saat aku berulangtahun. Sebuah kenangan yang tidak terduga.
Namun, ada satu hal yang masih mengganjal. Suamiku jarang berucap mesra bahkan tidak pernah sekali pun dia mengatakan dia mencintaiku. Meski begitu, suamiku sangat bertanggung jawab. Dia memenuhi semua kebutuhan ku dan jarang sekali mengingkari janji yang dia buat padaku. Sikapnya terkesan dingin dan jarang sekali tersenyum. Hanya pada momen-momen tertentu saja aku bisa melihat senyum di wajahnya.
"Vania?"
Aku tersentak begitu mendengar suara serak di belakang ku. Segera aku menoleh, menatap suamiku yang berdiri bingung sambil memegangi cangkir kopi nya.
"Kenapa, mas?"
"Nggak, kamu melamun. Adam tadi bangun, tapi saya tinggal di boks bayi. Kamu liatin dulu dia ya?" jelasnya. Aku lekas mengangguk kemudian meninggalkannya di ruang makan untuk menjenguk bayi kecil ku di kamar.
Adam adalah anak pertama kami, dia baru berusia sepuluh bulan. Kata orang, usia segini masih lucu-lucunya. Putraku memang menggemaskan, ibu angkat ku sering berkata kalau Adam sangat mirip denganku daripada suamiku, Mas Erick.
"Anak mama pasti laper kan ya? Kita mamam yuk?" ajak ku seraya menggendong tubuh gemuk Adam yang wangi khas bayi.
Wajah Adam tampak berseri-seri, suaranya yang lucu memenuhi seisi kamar. Aku sampai tidak tahan untuk tidak mencium pipi montoknya.
Kubawa Adam ke ruang makan, di situ Mas Erick duduk sendirian di kursi makan sembari memakan sarapan yang sudah aku siapkan di atas meja. Begitu melihat ku, tatapan Mas Erick langsung tertuju kepada Adam. Bibirnya sedikit melengkung dan aku sungguh terpana oleh senyumannya. Sudah kubilang, hanya di momen-momen tertentu aku bisa melihat senyum tampan suamiku ini. Dia terlalu pelit untuk mengumbar senyum bahkan kepada istrinya sendiri. Sampai hari ini pun aku masih meraba-raba perasaannya terhadapku. Entah apa dia ini sebenarnya mencintaiku atau tidak?
"Rasanya berat ninggalin Adam dua hari ini, tapi saya harus kerja," keluhnya. Ya Tuhan, aku pikir dia merasa berat hati meninggalkan aku. Rupanya hanya untuk anaknya saja.
"Sebentar kok itu, mas. Kan bisa teleponan juga," balasku tapi dia tidak menanggapi apapun. Jika sedang seperti ini, aku merasa jauh darinya. Walau dia tepat di depanku, rasanya Mas Erick seperti berada di kutub-- sangat jauh dan dingin sekali. Hanya jika sedang bercinta, aku bisa melihat sisi lain dari suamiku. Dia bisa berubah menjadi lelaki yang panas, buas, dan cerewet sekali. Mulutnya tidak bisa berhenti berkata-kata entah memuji atau menggeram.
Aku menyuapi Adam makan dan sesekali melayani suamiku yang ingin diambilkan air putih atau lainnya. Beginilah keseharian ku, mengurus suami dan anak. Mas Erick memang tidak membatasi aktivitas ku di luar rumah, tapi tetap saja aku merasa bosan sekali. Entah apa yang harus aku lakukan dengan uang di rekening yang tersimpan banyak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Cinta Suami Dingin [TAMAT]
RomanceWARNING! 🚫🚫🚫 DI BAWAH 21 TAHUN HARAP SEGERA MENYINGKIR! SAYA TIDAK TANGGUNG RISIKONYA! Berawal dari seminar yang diadakan sekolahnya, Vania Larasati mendapati dirinya jatuh cinta kepada seorang pembicara yang merupakan salah satu dosen terbaik di...