Bagian 3

37.2K 1.9K 81
                                    

Vania POV

"Ini baru pulang, Mas."

"Kok lama banget? Adam kamu ajak?" tanya Mas Erick di telepon. Bukan hal aneh mendengar pertanyaan itu. Mas Erick memang selalu mengutamakan Adam. Aku senang dia menomorsatukan anak kami, tapi terkadang aku ingin juga diperhatikan.

"Iya, mas. Gak enak sama mbak Rere, dia kan jarang ke Jakarta."

"Lain kali kamu izin sama saya. Di salon kan banyak bakteri segala macam, kalo Adam sakit gimana?" tegur Mas Erick. Memang sih, aku tidak izin kepadanya tapi kok rasanya sedikit sakit ya ketika Mas Erick menegur ku seperti itu?

"Maaf mas, lain kali Vania izin kalo mau pergi sama mbak Rere atau orang lain." Ya sudahlah, lebih baik mengalah daripada memperpanjang urusan.

"Ya, saya pulang setelah seminar selesai. Telepon saya kalo Adam sakit," pamitnya. Ya ampun, dia takut sekali Adam sampai kenapa-kenapa. Pernah waktu itu Adam demam, wah Mas Erick paniknya minta ampun. Malam itu juga langsung ke rumah sakit buat periksa si Adam padahal cuma demam biasa. Kata ibuku, Mas Erick adalah ayah yang sigap.

Aku balik ke kamar, melihat keadaan Adam yang masih asyik tidur setelah ku susui. Merawat dan menjaga Adam seperti disuruh merawat berlian mahal. Lecet sedikit saja, aku pasti kena sembur.

"Haduh, nak... Enak banget Papa perhatiin kamu mulu ya? Kapan dong dia merhatiin mama?" tanyaku seperti orang bodoh. Ku usap kening Adam, membuatnya kian nyenyak tertidur di boks bayi.

Ya memang beginilah nasib menikah dengan laki-laki yang minim ekspresi. Sudah bersyukur aku bisa melihat senyumnya yang jarang itu. Kalau tidak beruntung, yang kudapat hanya wajah seperti tembok. Sangat rata.

...

Hari Minggu tentunya adalah hari yang bagus untuk bersantai-santai dari kegiatan yang penat. Oh tapi itu berlaku untukku saja, Mas Erick jangan ditanya. Justru hari Minggu sering dia gunakan untuk menyelesaikan beberapa kerjaannya dari kampus. Entah itu memeriksa tugas-tugas mahasiswa ataupun anak bimbingannya. Aku bosan sendiri melihat rutinitas suamiku yang hampir tidak pernah berubah.

"Mas Erick, ini Vania buatin kopi."

Aku masuk ke ruang kerjanya lalu meletakkan secangkir kopi dengan takaran gula yang tidak berlebihan. Biasanya Mas Erick memang ditemani kopi setiap kali bekerja.

Dia tidak melirik ku sama sekali, tapi suara gumam an di bibirnya sudah menjawab. Aku berdecak sebal, kenapa Mas Erick ini sulit sekali mengucapkan "terima kasih", "tolong", dan "maaf" ? Aku penasaran ada berapa kosa kata di otaknya itu.

"Mas..."

"Hm?" balasnya sambil tetap menekuni kertas-kertas di tangannya.

"Vania boleh selingkuh ya?" tanyaku iseng.

Belum ada dua detik, mata tajam itu langsung menatapku setengah marah. Ampun, aku hanya iseng tapi sepertinya dia benar-benar marah.

"Maksud kamu apa ngomong gitu?" tanya Mas Erick. Nada bicaranya sangat dingin, aku takut sekali.

"Canda mas, canda... Soalnya mas Erick serius mulu, jadi... Ehm..." Aku bahkan tidak bisa menyelesaikan kalimat ku karena ditatap sebegitu tajamnya. Astaga, dia marah karena ucapan ku atau cemburu? Ah tentunya dia hanya marah, mana mungkin dia cemburu kan?

"Saya gak suka lelucon kayak gitu ya, Van. Itu sama sekali gak lucu, ingat ucapan itu doa. Kamu mesti hati-hati kalo ngomong," tegurnya lagi. Yah... Padahal cuma mau bermain-main berharap dia menangkap lelucon dariku, tapi malah dia benar-benar marah. Sungguh sial, aku harusnya tidak bercanda pada beruang kutub kalau tidak mau dicabik.

Mengejar Cinta Suami Dingin [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang