02 || Kekhawatiran

171 17 10
                                    

"Kerjaan lancar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kerjaan lancar. Kalau pasangan hidup, udah kepikiran lagi?"

***

Menjadi seorang masinis sudah menjadi cita-cita Ghazi sedari kecil. Tidak ada larangan dari kedua orang tuanya asalkan, setidaknya, ia menggenggam terlebih dulu gelar sebagai sarjana.

"Sarjana lebih dihargai di dunia kerja, Nak," ujar Bapaknya saat ia bertanya mengapa. "Kalau bisa, jadi sarjana ekonomi. Biar kamu bisa bawa perubahan untuk ekonomi negeri ini," lanjut beliau.

Titah itulah yang membuat Ghazi sempat terlupa dengan cita-cita masa kecil untuk menjadi seorang masinis. Ia sudah membayangkan untuk bekerja di korporasi ternama sebagai lulusan terbaik dari perguruan tingginya dan mendapatkan penghasilan lebih agar bapaknya tak perlu lagi bekerja keras. Berkas-berkas pendaftaran sudah siap, restu orang tua sudah ia kantongi. Namun, siapa sangka, dorongan untuk kembali memenuhi cita-cita masa kecil itu muncul dari cara yang amat menyakitkan.

Bapaknya menjadi salah satu dari tiga belas orang yang tewas dalam kecelakaan kereta di Jawa Tengah saat sedang pulang dari tugas dinas. Tidak hanya itu, ibunya pun menjadi salah satu korban luka yang hingga saat ini harus menggunakan kursi roda sebagai alat bantu berjalan.

Jika mengingat emosi yang dirasakannya saat itu, dorongan untuk menjadi masinis yang baik dan disiplin kembali membara. Ghazi tak ingin lagi melihat, merasakan, bahkan menjadi penyebab kecelakaan kereta yang bisa merenggut nyawa orang lain. Ia ingin menjadi seseorang yang mampu mendekatkan yang jauh melalui perjalanan keretanya.

Memejamkan mata sejenak, membayangkan situasi dan emosinya kala itu, sembari berdoa sebelum ia memulai perjalanan sudah menjadi rutinitas Ghazi setiap akan bertugas. Meski bukan menjadi masinis kereta jarak jauh, motivasi yang sama tetap terpatri dalam hati Ghazi. Satu hal yang ia senangi dari pekerjaannya ini adalah dirinya bisa mengagumi ciptaan Tuhan berulang kali selama perjalanannya pulang-pergi di kereta Commuterline jurusan Bogor-Jakarta Kota. Selain itu, ia tetap bisa pulang di sore hari untuk menemani ibunya di rumah karena hampir selalu mendapatkan shift pagi perjalanan.

Setiap harinya, Ghazi harus menempuh dua kali perjalanan bolak-balik dari rute yang didapatkan. Waktu perjalanan untuk setiap rutenya kurang lebih selama dua jam sehingga total waktu bekerjanya sekitar delapan jam per hari. Terkadang, ia sempat beristirahat selama satu jam, tetapi lebih sering hanya sekitar 15 menit di setiap jeda perjalanan. Hal ini membuatnya lebih memilih untuk berpuasa daripada harus pusing memikirkan makan siang.

Namun, hari ini Ghazi bangun kesiangan. Ia tidak sempat sahur dan tidak jadi berpuasa. Perutnya beberapa kali berbunyi selama perjalanan. Walaupun sudah mencoba mengganjal dengan membeli buras isi oncom yang dijual tukang gorengan depan stasiun Bogor selepas subuh dan mengganjal lagi dengan roti khas stasiun, perutnya masih terus bernyanyi bersama klakson kereta.

Ghazi tidak bisa terus seperti ini. Ia harus makan nasi kalau mau mendiamkan perutnya yang semakin keroncongan dan meredakan pusing yang menyerang. Beruntung, hingga ia tiba lagi di stasiun Bogor—menyelesaikan putaran pertama perjalanannya—konsentrasi masih terjaga dengan baik. Ia buru-buru merapikan barang-barangnya di kabin masinis, melengkapi catatan perjalanan, dan keluar dari kabin.

CommuterLove ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang