21 || Commuter Love (End)

169 14 0
                                    

Kepergian Nuri yang tiba-tiba dan tak terduga membuat Ghazi sangat terpukul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kepergian Nuri yang tiba-tiba dan tak terduga membuat Ghazi sangat terpukul. Sejak para pelayat datang ke rumah, lelaki yang dasarnya pendiam ini semakin jadi pendiam. Meski dirinya sempat mengurus beberapa keperluan untuk pemakaman ibunya—laporan ke RT, proses memandikan jenazah bersama Nana yang dibantu ibu-ibu pengajian sekitar rumah, dan menghubungi pemakaman tempat dulu ayahnya dimakamkan, dan mengadakan salat jenazah di masjid dekat rumah—ia melakukan itu dengan harapan agar ibunya tidak mengalami penundaan dalam proses kembali pada Tuhan. Bukan karena dirinya baik-baik saja.

Siapa yang baik-baik saja ketika ditinggal oleh orang tersayang? Apalagi, orang itu adalah ibu yang merawat sedari kecil dan menjadi teman dalam hari-hari kehidupan yang penuh kesendirian.

Nana yang melihat perubahan pada sinar mata Ghazi merasakan sakit dalam hatinya. Biasanya, mata Ghazi menunjukkan ketenangan dan kehangatan yang luar biasa. Meski perilakunya tidak terlalu berubah, tetapi Nana menyadari ada yang hilang dari mata cokelat itu. Ada kekosongan yang bersemayam di sana sejak keluarga Nana datang kemarin.

Tampaknya, Ghazi berusaha agar terlihat kuat dan mengikhlaskan kepergian ibunya. Hanya saja, hal itu cukup membuat Nana takut untuk mendekati Ghazi. Saat ini, lelaki itu terlihat seperti gelas tipis yang jika tersenggol sedikit saja, bisa jatuh dan pecah berkeping-keping. Meski demikian, Nana terus menggandeng dan memegang tangan Ghazi untuk memberikan penguatan.

Seperti saat ini.

Usai Ghazi, bersama bapak-bapak petugas pemakaman, menyemayamkan jenazah Nuri ke liang kubur dan melantunkan azan di sana, Nana kembali menggandeng erat lelaki berbaju putih itu sambil melihat tanah yang kembali mengisi liang kubur. Tidak ada air mata yang keluar dari lelaki bermata cokelat ini. Sungguh, hati Nana pilu melihat kekosongan pada wajah suaminya.

Setelah pemakaman selesai, keluarga Nana masih bertahan di sana selama beberapa saat untuk mendoakan Nuri. Tepukan di bahu beberapa kali Nana dapatkan karena keluarganya mengajak untuk kembali ke rumah. Hanya saja, ia terus menggeleng dan memilih menemani suaminya hingga suaminya yang beranjak dari sana.

"Bunda, terima kasih sudah bertahan sampai akhirnya lihat Ghazi menikah. Maaf kalau terlambat. Maaf kalau akhirnya Bunda hanya tinggal semalam bersama menantu yang Bunda dambakan sejak dulu. Maafin Ghazi yang nggak bisa segera menikah. Maaf karena jadinya Bunda belum sempat gendong cucu. Maaf ...."

Kalimat itu menggantung karena tiba-tiba pundak Ghazi bergetar. Lelaki itu menahan air matanya dengan kepala yang menunduk dalam.

"Mas, jangan ditahan. Keluarin aja," bisik Nana yang masih menggenggam erat tangan Ghazi.

Namun, lelaki itu menggeleng dan mengangkat kepalanya. Menatap Nana dengan senyuman, meski matanya sudah memerah. "Mas ikhlas, Na."

"Ikhlas bukan berarti nggak boleh nangis, Mas. Apalagi ini orang tua Mas, ibu Mas Ghazi yang luar biasa. Nggak ada yang salah dengan menangisi rasa kehilangan itu."

CommuterLove ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang