[JUARA 10 EDITOR'S CHOICE AUTHOR GOT TALENT 2022]
Singgah dari satu stasiun ke stasiun lain adalah hal yang biasa bagi masinis kereta rel listrik seperti Ghazi. Berbeda dengan Nana yang terbiasa diam di satu tempat untuk menyelesaikan pekerjaannya s...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nana berhenti di depan pintu rumah dengan napas yang memburu. Berulang kali ia mengatur napasnya sebelum membuka pintu, tetapi berulang kali juga jantungnya terus terpacu. Mengetahui bahwa ibunya mendorong ia untuk bersama dengan Dika lagi hanya karena uang sungguh tak mampu dimengerti. Apa dirinya dijual? Memang berapa utang ibunya kepada Dika? Dan mengapa pula bisa terjadi utang-piutang itu?
"Nana? Udah pulang? Kok nggak masuk?"
Mendengar suara bapaknya, Nana membuka mata yang terpejam sedari tadi. "Mau ke mana, Pak?" ujarnya saat melihat bapaknya menggunakan jaket yang biasa dipakai untuk naik motor.
"Mau beli obat. Itu ibumu migrain nggak ilang-ilang dari tadi siang katanya."
Alis Nana terangkat. Napasnya yang memburu terasa kembali normal. Kalau tidak salah, tadi pagi ibunya baik-baik saja dan bergosip dengan tetangga yang mengerubungi tukang sayur kompleks seperti biasanya. Bagi ibunya yang jarang sakit, migrain yang tidak hilang-hilang tentu bukan perkara biasa.
"Ibu kenapa?" tanya Nana selembut mungkin. Sebenarnya, ia masih ada keinginan untuk menginterogasi dan meminta jawaban perkara utang dengan lelaki semi konglomerat yang meninggalkan rasa sakit di lengannya hingga saat ini.
Wanita berbaju cokelat yang terbaring di kasur itu melirik ke arah Nana sambil tetap meletakkan lengannya di atas dahi. Bibirnya tertutup rapat dan memilih terpejam tanpa menjawab pertanyaan Nana.
"Pusing mikirin utang ke Dika?"
Tentu saja pertanyaan tiba-tiba itu membuat Laila membelalak dan terduduk dengan cepat. "Utang apa maksud kamu, Na?" Suaranya meninggi.
"Ibu nggak mau jujur? Aku udah tau semuanya." Meski ini tidak sepenuhnya benar, setidaknya Nana tidak berbohong kalau ada hal yang ia ketahui.
"Dika bilang ke kamu?"
"Siapa lagi?"
Laila mendengkus. Beberapa kali matanya melirik ke Nana, tetapi tak mampu menatap mata putrinya secara langsung.
Melihat sikap ibunya yang ragu-ragu, Nana akhirnya duduk di pinggir kasur, dekat dengan lutut ibunya. "Ibu mau cerita semuanya ke aku, atau aku bilang Mas Farel sekarang?"
Sejujurnya, Nana tidak mau menggunakan cara mengancam untuk membuka mulut ibunya. Ia tahu itu bukanlah tata krama yang baik. Namun, kalau ia tidak membawa nama kakaknya yang sangat dibanggakan oleh sang ibu, sepertinya kebenaran yang disembunyikan tidak akan lantas terungkap.
Nana tahu, sejak kecil ibunya memang sangat membanggakan Farel. Mungkin karena kakaknya laki-laki dan ibunya sangat menginginkan anak laki-laki sehingga perlakuan spesial diberikan pada kakaknya. Berbeda dengan dirinya yang hampir selalu dibandingkan dengan Farel hingga ia sempat membenci kakaknya. Namun, perilaku Farel yang begitu menyayangi dan membela dirinya ketika berseteru dengan sang ibu membuat ia luluh.