08 || Pertemuan

84 11 0
                                    

Nana jemu melihat ekspresi ibunya yang tidak ada senyum sama sekali meski rumah mereka sedang kedatangan tamu dan masih bersiap menyambut tamu yang lain

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nana jemu melihat ekspresi ibunya yang tidak ada senyum sama sekali meski rumah mereka sedang kedatangan tamu dan masih bersiap menyambut tamu yang lain. Mbak Farah, ustazah kelompok pengajian Nana, sudah datang ke rumah bersama suaminya untuk membantu memoderatori proses taaruf antar Nana dengan Ghazi. Namun demikian, alih-alih menyambut dengan ramah, ibu Nana lebih banyak berdiam diri di kamar.

"Ibu keluar pas udah mau mulai aja. Males basa-basi," jawab Laila saat putrinya mengajak untuk bertemu dan menyapa tamu.

Nana ingin menyimpan energinya untuk proses taaruf bersama keluarga Ghazi sehingga ia pun memutuskan untuk membiarkan ibunya melakukan apa yang dimau. Untung saja Mahmud, bapak Nana, cukup suportif dan terbuka pada keinginan Nana bertaaruf. Di tambah lagi, ada Farel dan istrinya yang menjadi dukungan terbesar Nana saat ini.

"Udah siap pertanyaannya, Na?" tanya Mbak Farah disela-sela obrolan mereka.

Nana mengangguk ragu. "Sebenernya, aku bingung mau tanya apa, Mbak."

"Bingung kenapa?"

"Kayak ... Apa, ya? Ya, aku nggak ada keinginan lain selain dia mau nerima keluargaku dan ngizinin aku kerja setelah nikah. Atau mungkin ngizinin buat lanjut kuliah? Nggak tau, deng. Bingung, Mbak. Aku harus tanya apa?"

"Tanya penghasilannya, mau ngidupin kamu pakai apa?" sela Farel yang baru bergabung setelah menidurkan anaknya di kamar belakang.

"Tapi, kan, dia udah kerja. Udah jelas, lah, penghasilannya." Nana tidak terlalu memikirkan perihal uang. Baginya, asal besok bisa makan dan bisa tidur dengan aman tanpa kehujanan, itu sudah cukup. "Dulu, Mbak Alya nanya apa aja ke Mas Farel?"

Dahi Farel berkerut. Ia lalu menggeleng pelan. "Nggak begitu inget. Mas cuma inget bapaknya Alya nanyain soal penghasilan dan gimana hubungan Mas sama keluarga. Khususnya sama Ibu."

"Kenapa gitu?"

"Biasanya, laki-laki yang punya hubungan baik dengan keluarga, apalagi sama ibunya bener-bener hormat dan menghargai, insyaa Allah sama istrinya juga bakal gitu." Kini, Alya pun ikut berkumpul di ruang tamu.

"Bener itu, Na. Sebenernya, Mbak juga nggak terlalu dibutuhkan di sini." Farah tertawa pelan. "Kakak-kakakmu udah paham dan bisa juga jadi perantaramu."

"Ah, nggak juga, Mbak Farah. Saya sendiri juga baru belajar agama lagi sejak nikah sama dia." Farel melirik ke istrinya. "Mbak Farah tetap dibutuhin. Siapa tahu Nana emang lebih tenang dan nyaman kalo ada mentor ngajinya."

Mereka pun saling tersenyum. Farel dan bapaknya pun mulai lebih banyak mengobrol dengan suami Farah untuk mengisi waktu dan para perempuan sibuk berbincang sendiri. Ketenangan itu tiba-tiba terpecah oleh suara pintu yang dibuka dengan kasar.

"Mana? Katanya jam 9? Ini sudah jam 9 lewat seperempat. Belum apa-apa udah telat aja!"

Nana sontak berdiri melihat ibunya yang bernada tinggi di hadapan para tamu. "Mungkin masih di jalan, Bu. Sabar."

CommuterLove ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang