13 || Moderator

80 12 0
                                        

Ghazi sebenarnya sungkan ketika ia harus meminta Farel yang datang ke rumah sakit untuk bertemu dengannya ketika yang sebenarnya butuh bertemu adalah dirinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ghazi sebenarnya sungkan ketika ia harus meminta Farel yang datang ke rumah sakit untuk bertemu dengannya ketika yang sebenarnya butuh bertemu adalah dirinya. Namun, lelaki berambut belah kiri ini tidak punya pilihan lain karena ia tak tega meninggalkan sang ibu sendiri di kamar yang super besar itu.

Sambil memijit-mijit kaki ibunya, Ghazi menunggu kabar dari Farel. Hari ini, dirinya bertukar shift setengah hari dengan temannya yang ada shift perjalanan di hari Sabtu. Awalnya, Ghazi ragu untuk menerima barter shift itu karena hari Sabtu adalah waktu untuk ke rumah Nana. Meresmikan lamaran tanpa acara khusus sekaligus membicarakan tanggal pernikahan dari pihak kedua keluarga sebelum akhirnya mengundang keluarga besar untuk silaturahmi lebih jauh. Namun, rekan masinisnya yang lain memang sulit bertukar shift dadakan. Belum lagi ada yang memang jadwalnya sudah penuh dan sudah mengagendakan acara pribadi di hari liburnya.

Mau tidak mau, Ghazi perlu menyesuaikan kembali rencana kedatangannya ke rumah Nana. Jika tidak bisa di pagi hari, semoga keluarga Nana mau menyediakan waktu di sore atau malam hari. Prediksinya, ibunya pun sudah bisa keluar dari rumah sakit.

Ah, satu permasalahan lagi yang belum terselesaikan.

Ghazi harus mencari perawat baru untuk ibunya karena Putri sudah menghilang tanpa bisa dihubungi. Sebenarnya, bisa saja ia mendatangi klinik yang katanya menjadi tempat kerja sambilan perempuan itu. Hanya saja, lebih baik membiarkan kondisi seperti ini saja tanpa perlu memperpanjang dengan meminta Putri kembali. Pasti ada jalan.

"Kamu mikirin apa, Zi?" Wanita yang berbaring lemah di kasur itu membuka mata.

"Bukan apa-apa, Bun. Bunda gimana rasanya hari ini? Ada yang nggak nyaman?"

Nuri menggeleng. "Bunda nggak apa-apa. Udah bisa pulang ini. Kita pulang aja gimana?"

Kini, Ghazi yang menggeleng. Bukannya ia tak mau membawa ibunya pulang. Masalahnya, itu tadi. Di rumah tidak ada siapa-siapa yang bisa menjaga ibunya selagi ia bekerja. Walau ibunya akan bilang bisa melakukan semuanya sendiri, tetap saja Ghazi bersikeras untuk tidak mempercayai perkataan itu. Ia tahu, ibunya hanya ingin membuat dirinya tidak khawatir dan fokus bekerja.

Sebelum Nuri bisa berargumen lagi, Ghazi beranjak dan masuk ke kamar mandi. Sekarang ini, menjauh ketika ia menangkap ada sinyal bahwa perbedaan pendapat akan terjadi adalah pilihan terbaik yang bisa dilakukannya. Tentu saja selain karena ia tidak mau mencoba mendebat ucapan ibunya, lelaki yang kantung matanya mulai terlihat ini masih perlu banyak berpikir terkait beberapa rencana yang seharusnya dilakukan pekan ini. Terkhusus, rencana lamaran dengan Nana.

Belum lama Ghazi berdiam di kamar mandi, terdengar suara ibunya menyapa seseorang di luar. Tampaknya, tamu yang ditunggu telah tiba. Namun, kening Ghazi berkerut tatkala mendengar suara seorang perempuan lain yang cukup familier di telinganya.

Perlahan, Ghazi membuka pintu kamar mandi untuk mengecek dugaannya dan ternyata benar. Perempuan berkerudung biru itu ada di sana, di samping kasur ibu Ghazi. Ia pun menutup pintu lagi. Jantungnya berdebar cepat, pikirannya pun bekerja lebih berat. Segala tanya "kenapa?" bersahutan dalam benaknya karena ia tidak menduga bahwa Farel akan datang bersama Nana.

CommuterLove ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang