14 || Viral

64 8 0
                                    

Mata Nana terasa berat untuk terbuka ketika alarm ponselnya nyaring berbunyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Mata Nana terasa berat untuk terbuka ketika alarm ponselnya nyaring berbunyi. Rasanya, ia ingin agar hari ini langsung beranjak malam dan dirinya tak perlu berangkat ke kantor. Kondisinya itu bukan tanpa alasan.

Semalam setelah menceritakan semua tentang kejadian di stasiun saat ia bertengkar dengan Dika yang mabuk, tentang Ghazi yang menolongnya, dan tentang motif ibunya menjodoh-jodohkan ia dengan Dika, telepon dari Kyle sukses membuatnya tidak bisa tidur.

"Gila! Ini beneran lo, kan, Na? Seviral ini di medsos!"

Saat Nana membuka tautan yang dikirimkan oleh Kyle, jantungnya berdetak cepat dan tangannya gemetar. Wajahnya terpampang jelas dalam sebuah video yang merekam keributan di stasiun kemarin. Begitu pula wajah Dika dan Ghazi yang sempat adu mulut hingga Ghazi mendapat tonjokan dari Dika yang mabuk.

Melihat ekspresi adik perempuannya yang sangat terkejut, Farel langsung merebut ponsel yang digenggam Nana dan tersenyum sinis.

"Mampus, lo!"

"Kok, gitu, Mas?"

"Dia nggak bakal bisa ngelak kalo udah viral gini. Wah, bisa-bisa Ghazi makin banyak penggemar."

Nana mengernyit. "Itu ada muka aku juga, lho! Kan, malu."

"Bukan kamu yang salah, kan?" Farel menatap adiknya sekilas dan membuka kolom komentar. "Nih, banyak yang dukung kamu. Susah, kalo udah viral gini biasanya netizen kepo segala macam hal tentang mereka yang ada di video ini."

"Itu dia masalahnya. Aku nggak mau di-kepo-in."

Farel hanya tersenyum dan itu jelas membuat Nana ingin memukul kakaknya.

Nana pun sulit tidur karena memikirkan hal-hal yang akan terjadi di kantor nanti sehingga pagi ini, rasa malas dan mengantuk itu semakin menjadi-jadi.

Namun, ketika Nana mengingat bahwa memang bukan dirinya yang salah, ia pun berpikir. Haruskah ia malu pada kejadian yang bukan karena kesalahannya? Haruskah ia mengalah lagi seperti saat itu padahal yang jelas-jelas salah adalah Dika? Haruskah ia melarikan diri?

Pikiran itu terus berputar di benak Nana hingga akhirnya ia memilih untuk membuka matanya. Ketakutannya perlu ia konfirmasi dengan memberanikan diri datang ke kantor. Jika dirinya diam saja dan mundur, bisa-bisa Dika semakin merasa tinggi hati dan merasa bisa mengontrol Nana sesuka hatinya.

Tidak.

Nana tidak mau. Ia harus bisa membuktikan bahwa dirinya bukan lagi Nana yang dulu. Meski masih ragu, perempuan bermata lebar ini terus berbicara dan menguatkan dirinya sendiri sembari menepuk-nepuk pundak.

"All is okay, Na. Kamu nggak salah. Kamu nggak perlu malu. Harusnya dia yang malu, bukan kamu."

Nana pun naik KRL bersama kakaknya dan berpisah di stasiun Cikini karena kantor Farel ada di daerah sana. Sedangkan Nana masih harus melewati dua stasiun lagi sebelum turun menuju kantornya.

CommuterLove ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang