Ghazi dan Farel berjalan perlahan usai salat zuhur di masjid. Dalam hatinya, banyak yang ingin Ghazi tanyakan pada sahabat SMA-nya itu. Tentang pendapat Farel saat mengetahui bahwa adiknyalah yang berproses dengan Ghazi, tentang keluarga Ghazi yang hanya tinggal berdua dengan ibunya saja, tentang Nana yang masih seperti misteri baginya, juga tentang sikap ibu Farel yang terlihat kurang ramah selama pertemuan berlangsung.
Beberapa kali Ghazi menggerakkan bibirnya untuk mengucap sesuatu. Namun, semakin panjang ia berpikir, semakin tertutup rapat bibir itu. Ia tidak tahu harus mulai dari mana. Ayah Farel sudah lebih dulu berjalan di depan keduanya dan jarak mereka mulai jauh. Ghazi tidak berminat mempercepat langkahnya. Ia mengikuti tempo dari Farel yang sebenarnya juga menyimpan banyak tanya dalam benak.
"Sorry, ya, kalo sikap Ibu kurang ramah." Akhirnya Farel yang memulai percakapan lebih dulu.
"Nggak apa-apa. Biasanya, orang tua emang kayak gitu kalo anaknya mau 'diambil' orang," ujar Ghazi dengan tawa kecil yang menyelingi.
"Sebenernya, gue juga ragu kalo CV yang gue baca kemarin itu beneran punya lo." Farel menyipitkan matanya sembari melirik ke lelaki di sebelah kanannya. "Tapi, habis liat lo ngintip-ngintip di balik tangga, kayaknya dugaan gue bener."
"Dan terbukti hari ini." Ghazi menyimpulkan, membuat Farel menganggukkan kepala beberapa kali. "Ya, makanya kemarin gue ngintip. Hal yang sama gue rasain habis ketemu lo terus baca data keluarganya Nana."
Keduanya tertawa.
"Jadi, gimana? Mau lanjut?"
Sepersekian detik, Ghazi menghentikan langkahnya saat mendengar pertanyaan sahabatnya itu. Ia tahu pertanyaan tersebut pasti akan diajukan, tetapi ia tidak membayangkan akan secepat ini diminta keputusan.
"Gue nanya sebagai temen, bukan sebagai kakaknya Nana. Jangan ngerasa terbebani." Farel menambahkan. Ia cukup peka dengan pergerakan kecil dari lelaki yang sedang dipenuhi rasa bingung itu.
Ghazi tersenyum dan kembali berjalan menjajari Farel. "Dari gue pribadi, nggak ada alasan buat nggak lanjut. Apalagi, kayaknya Bunda keliatan seneng banget tadi. Tapi ...."
"Pasti mikirin ibu gue, kan?"
Tidak menjawab pun bisa dikatakan sebagai respons persetujuan dari Ghazi atas pertanyaan Farel. Lengan Farel pun merangkul bahu sahabatnya dan menepuk-nepuk pelan. "Ibu emang agak nggak mau Nana taarufan karena ... biasalah. Denger omongan tetangga yang gagal, yang cerai, dan lainnya gara-gara pernah taaruf. Walau mungkin ada alasan lain dibaliknya, ya, namanya ibu-ibu."
"Terus baiknya gimana menurut lo?"
"Gue nggak liat penolakan dari Nana, sih. Dia masih berusaha buat ngeyakinin Ibu juga dan gue lagi bantuin dia. Nggak cuma itu. Nana kayaknya masih mau memastikan juga apa lo masinis yang ditabraknya waktu itu."
"Lo tau kejadian itu?"
Farel tertawa. "Gue kakaknya, Zi. Ya, kali, gue nggak tau. Jadi, bener lo yang nemuin CV Nana yang ilang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
CommuterLove ✔
Romansa[JUARA 10 EDITOR'S CHOICE AUTHOR GOT TALENT 2022] Singgah dari satu stasiun ke stasiun lain adalah hal yang biasa bagi masinis kereta rel listrik seperti Ghazi. Berbeda dengan Nana yang terbiasa diam di satu tempat untuk menyelesaikan pekerjaannya s...