16 || Persiapan & Peran

79 11 0
                                        

Tanggal pernikahan sudah ditentukan, persiapan perlu segera dijalankan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tanggal pernikahan sudah ditentukan, persiapan perlu segera dijalankan. Waktu satu setengah bulan bukanlah waktu yang lama. Bukan juga waktu yang bisa digunakan bersantai dan menunggu kabar dari berbagai pihak yang akan dilibatkan dalam proses pernikahan.

Mulai dari persiapan administrasi, tempat, hingga persiapan keluarga baik itu seragam dan hal-hal lain yang ingin diseragamkan. Menyatukan dua orang yang akan menikah artinya menyatukan pula dua keluarga besar yang ada di belakang mereka. Artinya juga, keputusan tidak bisa serta merta diambil sendiri oleh kedua calon mempelai.

Nana dibuat sakit kepala oleh penyatuan dan berbagai kompromi yang perlu dipertimbangkan dalam proses pernikahannya. Sejujurnya, Nana hanya ingin acara yang sederhana. Mengundang keluarga tentu, tetapi di luar itu, cukuplah teman-teman terdekat saja. Tidak perlu banyak-banyak karena, toh, waktu persiapan sangat sempit. Hal-hal prioritas perlu dijadikan pertimbangan pertama dan utama.

"Tapi, kolega Bapak dan Ibu ini banyak, Na," ujar ibu Nana saat diskusi internal keluarga sehari setelah keputusan perihal tanggal pernikahan dibuat.

"Bu, Pak, waktunya sempit. Kalau mau yang mewah dan menampung banyak tamu, butuh budget besar. Aku pribadi nggak sanggup karena uang tabunganku belum sebanyak itu. Mas Ghazi juga masih butuh biaya untuk ibunya. Belum lagi Mas Farel juga ada prioritas sendiri buat keluarga kecilnya. Nggak mungkin, dong, kita maksain gitu aja." Nana berusaha sehalus mungkin memberikan pertimbangan dan argumen pada ibunya.

"Benar, Bu." Kini, Bapaknya ikut bersuara. "Kita undang yang deket-deket aja. Lainnya, bisa dikabari dulu atau kalau mereka mau ke rumah di luar acara itu, ya, nggak apa-apa."

"Ya, nggak bisa begitu, dong, Pak. Mau ditaruh di mana mukaku kalo mereka pada tanya kenapa nggak di undang?"

Nana memijit-mijit kepalanya yang mulai berdenyut dan terasa nyeri. "Bu, please, uang dari mana?"

"Kita pinjem aja—"

"Bu, aku nggak mau ada utang-piutang di sini. Cukup kejadian ibu sama dia!" tegas Nana yang enggan menyebut nama lelaki yang telah membuat ibunya 'menjual' dirinya. "Itu pun masih belum jelas dan kita masih harus nyiapin semisal dia minta barang-barangnya dikembalikan atau mungkin ganti rugi lain karena janji yang Ibu ucapin."

Laila terdiam mendengar argumen itu. Di sudut hatinya, masih ada rasa bersalah yang hadir karena keinginannya untuk memberikan yang terbaik untuk Nana justru menjadi bumerang. Bahkan, anaknya sampai harus mengalami kekerasan fisik minor dari mantan pacarnya. Jiwa keibuannya tetap saja terluka melihat anak perempuannya mengalami hal yang menyakitkan, secara fisik khususnya. Ia tidak mau hal itu terulang.

"Oke, Bu?" Nana kembali mengonfirmasi keputusan perihal undangan-undangan tamu karena itu akan berdampak ke tempat pelaksanaan pernikahan.

Laila mendengkus kasar. "Ya udah. Tapi, kalo budget ada lebih, undang sebanyak-banyaknya, ya."

CommuterLove ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang