Kantin hari ini tampak lebih ramai karena lebih banyak murid yang memilih untuk makan di sana dibandingkan di kelas mereka. Kantin sekolah ini bisa dibilang cukup luas dan makanannya pun lumayan enak-enak. Kebanyakan pedagang menjual cemilan, tapi bukan berarti yang menjual makanan berat tidak ada. Pemandangannya pun cukup menyegarkan karena selain berhadapan dengan taman, sekolah ini sangat disiplin terhadap kebersihan. Makanya jarang sekali murid yang berani untuk sembarangan dalam membuang sampah.
Salah satu pengisi meja di sana adalah Ares, Fernand, Panji, dan Langit. Empat sahabat itu sama-sama menikmati sepiring batagor hangat yang dilumuri saus kacang dan kecap sebagai penambah rasa. Ares mengunyah makanannya itu dengan cukup keras, hal itu tentu disadari oleh tiga temannya yang lain.
"Santai, gak akan ada yang minta batagor lo," ucap Langit.
"Gue lagi kesel," balas Ares, "Kak Ina tuh nyebelin banget, anjir."
Fernand dengan cepat membalas, "Dia kenapa memangnya?"
"Kemarin pas kumpul tuh, ya. Awalnya emang baik, tapi pas penilaiannya jadi gak jelas. Masa dia bilang gak suka gambar gue tapi gak ada alasannya? Mana mukanya gak biasa aja. Padahal yang lain dikasih tahu bagian gak sukanya tuh karena apa. Ke gue doang gak jelas, nyebelin. Mana gue disuruh balik ke bangku cepet-cepet lagi?!"
Ares mengucapkan semua itu dengan cepat, sehingga tiga temannya perlu diam terlebih dulu untuk memproses kalimatnya.
"Kak Ina? Serius kayak gitu?" tanya Panji.
Ares mengangguk. "Iya! Awalnya adem, gak nyesel masuk ke sana. Tahunya pas akhir kayak gitu, tapi ada yang denger secara gak sengaja kalau itu disuruh pembina, sih."
"Nah, ya udah kalau gitu? Kenapa masih kesel sampai sekarang?" sahut Fernand.
Ares menghela napas. "Sebelnya tuh karena gue gak dikasih alasan itu, terus dia agak dingin juga. Kakel lain ngajak ngobrol dan senyum ke gue, dia doang yang enggak. Pas ngegambar pun, Kak Ina gak nyamperin bangku gue sama sekali. Padahal dia ketua, harusnya mengayomi semuanya."
"Tapi di OSIS dia biasa aja, gak galak dan nyebelin. Mungkin itu emang permintaan dari pembinannya, buat ngetes. Secara ekskulnya baru dihidupin lagi, itu tentu butuh anggota yang gak gampang nyerah. Makanya dia bersikap kayak gitu," balas Langit, tak yakin kalau Ina bersikap begitu tanpa alasan.
"Di OSIS dia bukan ketuanya, makanya gak kayak gitu," ucap Ares.
"Ih enggak, kalian juga lihat sendiri selama kita MPLS kemarin, 'kan? Dia baik. Di OSIS juga, gue sering nanyanya ke Kak Ina," ucap Langit lagi.
Kening Ares mengernyit. "Lo, kok, jadi belain dia?"
Langit menggeleng. "Gue gak belain dia. Cuma aneh aja kalau yang lo omongin itu Kak Ina lakuin tanpa alasan."
Yang tidak mereka sadari, objek pembicaraan mereka ada di sana. Mereka duduk di dekat pintu masuk dan langkah Ina serta temannya yang akan membeli makanan jadi terhenti kala mendengar nama Ina disebut.
Jua, teman sekelas Ina sekaligus yang paling dekat dengannya itu meringis. "Ina—"
"Sana beli yang lo mau. Gue nanti aja pas istirahat kedua," ucap Ina seraya mengambil langkah menjauh dari Kantin. Jua mengerjap dan membalas, "Tungguin dulu di situ, gue gak akan lama!"
"Iya, Ju."
Disatukan dalam satu kelompok saat MPLS dan sekelas hingga sekarang, membuat Jua sadar kalau Ina bukan tipe orang yang gemar menceritakan isi kepalanya. Berkelainan dengan Jua yang doyan mengeluh walau tetap dilakukan.
Seperti saat ini, Jua tidak tahu kenapa Ina bersikap seperti apa yang adik kelas mereka bicarakan di Kantin tadi. Jua hanya tahu kalau Art Club diminta pembina mereka untuk sedikit mengetes anggota baru.
"Yang tadi ... kenapa?" tanya Jua dengan ragu. Ina mengangkat kedua alisnya seraya melihat pada temannya.
"Gak papa, mungkin memang dia gak suka sama cara gue," jawab Ina.
"Tapi tadi dia bilang lo gak suka sama gam—" Ucapan Jua terpaksa ia hentikan begitu menyadari kalau sosok Bu Resti ada di hadapan mereka. Ina dan Jua sama-sama memberikan salam serta mencium tangan Bu Resti.
"Gimana, Na, Art Club kemarin? Berhasil?"
Jua menatap pada Ina. Penasaran apakah Ina akan berkata soal dirinya yang dibicarakan atau tidak.
Ina mengangguk sembari tersenyum tipis. "Lumayan berhasil, Bu. Kami juga kemarin nurutin apa yang kata ibu dan belum ada yang ngundurin diri sampai sekarang."
"Bagus! Adik kelasnya gimana?"
"Gambar mereka banyak yang bagus, Bu. Kebanyakan memang udah punya dasarnya masing-masing. Waktu dikritik juga mereka bilang kalau mereka bersedia untuk belajar lagi. Sedikitnya kami udah bisa berbaur sama mereka, Bu. Group chat-nya juga udah dibuat," jawab Ina lagi.
Bu Resti tersenyum puas lalu menepuk pelan pundak anak didiknya itu. "Syukurlah, terima kasih, ya, Na. Ibu minta kerja samanya untuk satu tahun ke depan. Nanti masukin ibu juga ke grupnya, ya."
Ina balas tersenyum dan mengangguk. "Siap, Bu."
"Kalau gitu ibu pamit dulu. Mari, Na, Ju."
"Mari, Bu."
Jua menoleh ke belakang, memastikan Bu Resti sudah cukup jauh. "Kenapa gak bilang kalau lo dijulidin?"
Ina menggeleng. "Masih awalan, gue gak mau ada konflik. Udah, ke kelas aja, yuk."
Malamnya, selepas Ina mengerjakan tugas yang diberikan hari ini. Perempuan itu memilih untuk bersantai di teras rumahnya. Dia sengaja diam di sana sambil menunggu penjual bakso lewat.
"Nih, Kak, minumnya," ucap adik Ina.
"Thanks," jawab Ina. Adiknya itu mengangguk sebelum kembali masuk ke dalam rumah.
Ina terdiam, pikirannya sering berkelana kala ia sendirian seperti ini.
"Ke gue doang gak jelas, nyebelin."
Ina kembali teringat dengan ucapan Ares tadi siang. Kemudian perempuan itu mengusap wajahnya sendiri kasar. Berusaha menyingkirkan soal itu dari kepalanya, ia tak mau memikirkan soal apa yang ia lakukan kemarin.
Ponsel yang Ina letakkan di pangkuannya bergetar pertanda ada notifikasi yang masuk. Ina mengambilnya dan mendapati notifikasi sebuah permintaan pesan dari instagram.
Ina tak menampilkan ekspresi apa pun kala melihat pesan dan foto yang dikirimkan. Perempuan itu malah mengembalikan ke layar utama lalu mematikan ponselnya. Memilih untuk mengabaikan pesan itu dengan tak memberi tanggapan apa pun termasuk sekedar menerima permintaan pesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraki
Teen FictionKesan pertama yang dinilai kurang baik membuat Ina menjadi salah satu hal yang Ares keluhkan. Bilangnya, sih, menyebalkan, tapi Ares seringkali menjadikan ina sebagai objek gambarnya.