"Ayo, Res. Nongkrong dulu lah kita. Gaji pertama kamu, 'kan?" ajak seorang seniornya, mendekat pada Ares yang sedang membereskan barang-barangnya.
"Lain kali deh, ya, Mas. Saya udah ada janji soalnya."
"Ya udah, deh. Janji sama ayang, ya?"
Ares tertawa malu. "Gitu, deh. Saya duluan keluarnya, ya, Mas! Sampai jumpa Senin nanti!"
Tidak ingin makin diledeki, Ares buru-buru melangkah keluar. Toh, sebuah amplop sudah ada di saku jaketnya. Tak ada lagi alasan untuk ia bertahan lebih lama di sana.
Mata Ares melihat sekitarnya, mencari keberadaan seseorang. Wajahnya kini terhiasi oleh senyuman kala melihat seorang perempuan yang tampak melamun di atas motornya. Helm merah yang ia kenakan membuat wajahnya terlihat bulat dan itu menggemaskan di mata Ares.
"Kak Ina!" panggil Ares dengan riang.
Ina tersadar dari lamunannya dan langsung melihat pada laki-laki yang baru saja memanggilnya. Perempuan itu tersenyum tipis seraya memundurkan dirinya, memberi ruang pada Ares untuk mengambil alih motornya.
"Ini motor si Iden, 'kan, Kak?" tanya Ares berbasa-basi sambil memakai helmnya.
Ina mengangguk. "Siapa lagi kalau bukan dia?"
"Keren banget Kak Ina bawa motor Iden buat jemput aku," ucapnya dengan nada menggoda.
Ina memutar bola matanya malas. "Lagian kenapa harus naik motor, sih? Lebih enak naik angkot."
"Biar gak kemaleman nantinya, kakak sayang."
Ares menaiki motor itu dan duduk di depan, ia membenarkan posisi spionnya terlebih dahulu sebelum menyalakan mesinnya. Ia merasakan sepasang tangan yang memegang ujung jaket yang ia kenakan.
"Peluk aja kali."
"Kata Iden, nanti bensinnya harus diisi lagi." Sudah biasa ketika Ina tak menanggapi godaan Ares. Perempuan yang lebih tua itu memang tak nyaman jika harus menunjukkannya di depan publik.
"Iya, siap. Nanti diisi sampai full, bilangin calon kakak iparnya lagi kaya."
"Sombong banget, hati-hati seminggu udah habis, tuh, duit."
"Ya ... jangan dido'ain juga, dong, Kak!"
"Udah, ayo jalan."
"Peluk dulu."
"Res." Ina berujar dengan tegas, membuat Ares mau tak mau melajukan motor yang mereka naiki. Ketika ia sudah fokus pada jalanan dan menikmati apa yang bisa ia lihat, Ares merasakan ada tangan yang melingkari pinggangnya. Disusul dengan sebuah dagu yang menyapa pundaknya.
"Pelan-pelan aja bawa motornya."
Ares tak bisa untuk tak tersenyum lebar setelahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraki
Teen FictionKesan pertama yang dinilai kurang baik membuat Ina menjadi salah satu hal yang Ares keluhkan. Bilangnya, sih, menyebalkan, tapi Ares seringkali menjadikan ina sebagai objek gambarnya.