"Ini HVS-nya," kata Oki sembari menyerahkan setumpuk benda yang ia sebut di hadapan Ina. Ina mengangguk lalu membalas, "Makasih, Ki."Sekarang mereka sedang berada di ruang seni. Hari ini adalah hari pertama Art Club akan memulai kegiatan di semester ini dengan anggota baru. Mereka memberi jeda selama 30 menit setelah bel pulang, itu pun sengaja agar mereka bisa lebih menyiapkan diri.
"Bu Resti gak jadi dateng, ya? Soalnya dia gak ada tadi, walau tugasnya ada aja, sih," tanya Jian. Memastikan tentang kehadiran guru pembimbing mereka di pertemuan kali ini.
"Dia gak bisa kalau hari ini. Udah ngehubungin gue dari semalem," jawab Ina.
"Jadi, total yang gabung ada berapa orang, Na?" Kali ini, Ria yang bertanya.
"Sepuluh orang, belum nambah lagi dari yang terakhir. Bener, kan, Na?" Cakra, wakil Ina adalah orang yang menjawab pertanyaan Ria barusan. Ina mengangguk sebagai tanggapan untuk pernyataan temannya itu.
"Gak papa, itu udah lumayan buat ekskul baru dibangun lagi kayak kita," ujar Hamzah.
Mereka berenam adalah anggota yang berhasil meyakinkan sekolah agar Art Club diadakan lagi. Berhubung Ina adalah seseorang yang merancangnya dalam program OSIS milik bidangnya, jadi perempuan itu pun dipercaya untuk menjadi ketua. Lalu, Cakra mengajukan dirinya untuk menjadi wakil.
Enam orang ini, sudah diakui oleh sekolah untuk urusan gambar menggambar. Yang berbeda kelas seperti Hamzah dan Ria pun, bisa ada di sini karena ajakan oleh Bu Resti. Dia adalah guru Seni Budaya mereka yang jelas tahu bagaimana perkembangan mereka dalam seni rupa.
Perbincangan mereka terhenti kala suara ketukan pelan pada pintu menyapa pendengaran mereka. Secara bersamaan mereka menoleh ke asal suara dan mendapati Ares serta Kayla ada di ambang pintu."Permisi, Kak. Kalau masuk sekarang ... boleh gak, ya?" tanya Kayla dengan lembut.
Cakra dengan cepat memberikan reaksi. Dia berkata, "Boleh. Silahkan duduk, isi dulu yang bangku depan, ya."
Dua orang adik kelas mereka itu mengangguk dan berjalan menuju bangku depan. Menuruti apa yang Cakra katakan.
Ria menyikut pelan Ina dan berbisik, "Kok, lo gak bilang si Ares itu masuk ke sini, sih?"
Ina mengernyit. "Gue udah ngirim di grup datanya?" balasnya dengan pelan juga.
"Oh ... gue gak download fotonya, sih," kata Ria lagi diakhiri dengan kekehan. Ina hanya memutar bola matanya malas. Kini kembali melihat pada layar ponselnya, ia sudah menyiapkan apa saja yang akan diucapkan nanti di sana.
"Lumayan loh, ada dia di sini. Soalnya dia lumayan populer, 'kan?" ucap Ria lagi, masih pelan. Padahal Ares duduk di bangku yang ada di hadapan meja untuk guru di mana mereka berkumpul.
"Udah, jangan diomongin!" tegur Hamzah. Namun, Ria tak menghiraukannya. Perempuan itu malah memanggil objek pembicaraan mereka sambil berkata, "Ares, suka unggah hasil gambar di IG, 'kan?"
Ares yang terkejut tiba-tiba ditanya seperti itu menjawab, "I-iya, Kak." dengan kegugupan yang terlihat jelas.
Ria tersenyum lebar lalu menunjukkan dua ibu jarinya pada Ares. "Gambarnya bagus-bagus! Saya udah lihat. Kayaknya kami punya anak emas di ekskul sekarang," ucap Ria dengan ringan.
Ares menunduk, malu. Tidak menyangka akan mendapat pujian seperti itu. Dia menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal karena merasa canggung lalu membalas, "Makasih banyak, Kak."
Tanpa sadar, Ares melihat ke arah Ina untuk melihat reaksi yang dikeluarkan perempuan itu. Namun, tampaknya Ina bahkan tak menyimak percakapan antara Ria dan dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraki
Teen FictionKesan pertama yang dinilai kurang baik membuat Ina menjadi salah satu hal yang Ares keluhkan. Bilangnya, sih, menyebalkan, tapi Ares seringkali menjadikan ina sebagai objek gambarnya.