Ina ada di keluarga sederhana yang sering kali mengalami kesulitan. Kedua orang tuanya memang tak pernah menunjukkan, tapi Ina dapat menangkapnya dengan baik. Terlebih ketika mereka sudah membicarakan soal kuliah, Ina paham betul kalau mereka ragu dapat membuat Ina dan adiknya melanjutkan pendidikan sampai perguruan tinggi atau tidak.
Makanya, Ina diam-diam menjual hasil gambarnya untuk menabung agar dirinya dapat kuliah. Memang hasilnya tak begitu besar, tapi Ina sudah melakukannya sejak kelas 10. Jadi, ia mempunyai waktu lebih untuk mengumpulkan uang mengingat dirinya sekarang baru saja duduk bangku kelas 11. Walau terkadang, uangnya akan dipakai untuk kebutuhan mendadak yang tak enak untuk Ina minta pada ayah atau ibunya.
"Udah, tidur kek lo," ucap Iden, adik satu-satunya. Menyadarkan Ina dari lamunannya.
Ina mengerjap, lalu kembali memegang stylus pen-nya. Melanjutkan gambar untuk komisi yang ia lakukan.
"Dih, Kak. Malah gak bales," ucap Iden lagi. Sekarang, laki-laki itu duduk di sebelah Ina. Mengamati apa yang kakaknya lakukan dengan ponselnya. Diam-diam Iden merasa kagum, meski hanya dengan ponsel, Ina masih dapat membuat gambar yang baik.
"Bentar lagi, tanggung," jawab Ina tanpa melihat pada adiknya.
Untuk beberapa menit, mereka hanya diam. Sebelum akhirnya Iden kembali berkata, "Tadi gue ngomong soal baju futsal itu ke mama, Kak. Sumpah, sebenarnya gue gak mau maksa tapi pelatihnya bawel banget nagihin. Mana gak bisa dicicil."
Gerakan tangan Ina terhenti. Perempuan berambut sebahu itu menatap pada Iden penuh arti. "Berapa?"
"Delapan puluh rebu," jawab Iden, "mama bilang bisa, tapi minggu depan. Sementara pelatih udah ngomong terus di grup. Apa gue keluar aja, ya? Bingung."
Ina menyisir rambut depannya dengan jari tangan. Baik Iden atau dirinya sama-sama memiliki keraguan untuk meminta sesuatu secara mendadak, terlebih jika hal itu membutuhkan uang yang tidak sedikit.
"Emang gak bisa, ya, pake baju lo yang udah ada? Masih bagus, 'kan?"
Iden menggeleng. "Gak bisa, gue juga udah nanyain. Katanya itu buat tim sekolah."
Ina terdiam. Berpikir.
"Ya udah, pake uang gue dulu kalau gitu," ucap Ina, mengingat tabungannya lebih dari cukup untuk membayar baju yang Iden bicarakan.
"Tapi itu, kan, buat lo kuliah," balas Iden.
"Gak papa, gak segede itu. Masih bisa ditambal cepet. Yang penting mama gak kepikiran, Den."
"Makasih ... nanti gue ganti, deh."
Ina menggeleng. "Gak perlu, sekolah aja yang bener."
Iden balas menggeleng, merasa tak enak. "Ih, serius, Kak. Gue ganti."
"Gak perlu, Iden. Oh gini aja, besok balik bareng terus beliin gue cimol," jawab Ina.
"Oke, balik jam berapa lo?"
"Besok Art Club dulu."
Iden menatap Ina tak terima. "Lah, gue nungguin lo lama, dong? Gue gak futsal besok, ih, Kak."
Ina mengendikkan bahunya tak acuh. "Terserah lo, sih."
"Ya udah, iyaa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraki
Teen FictionKesan pertama yang dinilai kurang baik membuat Ina menjadi salah satu hal yang Ares keluhkan. Bilangnya, sih, menyebalkan, tapi Ares seringkali menjadikan ina sebagai objek gambarnya.