"Kak Ina, sebentar," panggil Langit. Ini hari kedua dan OSIS baru akan pulang setelah pembina mereka memberi penjelasan ulang tentang apa yang akan dilakukan besok.
Ina menatap pada Langit, ia jelas paham kenapa Langit memanggil dirinya. "Saya ditunggu orang," ucap Ina. Dia tidak berbohong, dia ditunggu oleh adiknya.
"Sebentar aja, Kak," ucap Langit tak menyerah.
Ina menghela napasnya dan mengangguk. "Kenapa?"
"Lukisan-lukisan yang hilang itu bukan salah Ares, Kak. Kak Ina sendiri waktu hari Senin ngecek masih ada semua, 'kan? Ares juga baru ke sekolah lagi pas pensi dimulai."
Ina menipiskan bibirnya. Apa yang ingin Langit bicarakan sesuai dengan dugaannya.
"Saya gak pernah menyalahkan Ares," balas Ina.
"Tapi sikap anggota Art Club yang lain malah terkesan menyalahkan dia, Kak. Maaf, tapi saya gak mau teman saya diperlakukan seperti ini."
Ina menatap dengan heran. "Langit, saya minta maaf untuk itu. Tapi di Art Club semuanya sedang kecewa karena lukisan yang dibikin dengan susah payah itu menghilang. Kebanyakan punya kelas 11 dan itu bisa aja kami jadikan portofolio nantinya."
"Udah gak ada yang menyalahkan Ares. Semuanya hanya sedih karena lukisan masing-masing menghilang. Lukisan yang kami buat, gak sesederhana itu maknanya, Ngit."
Langit terdiam, tak menyangka Ina akan berkata demikian. "Tapi, Ares tertekan, Kak, soalnya pada ngehindar dari dia."
"Ares sama Kayla yang pegang kunci itu dan lukisannya tiba-tiba menghilang sebelum pameran dimulai. Lukisan sudah dicari, orang-orang sudah ditanyai. Hasilnya selalu nihil. Kami memilih menghindar daripada harus menuduh dan bertengkar. Belum lagi, kami juga harus siap untuk evaluasi nanti. Kami diberi kesempatan buat pameran setelah sekian lama ekskul ini mati, tapi kami gagal dalam menjaga karya yang ada."
Ina terdiam sejenak. "Jadi, tolong ... Langit, bukan hanya Ares yang tertekan di sini. Saya izin pamit duluan."
Tanpa membutuhkan jawaban dari adik kelasnya, Ina langsung meninggalkan Langit. Yang ditinggalkan mengusak rambutnya kasar. Langit tidak memikirkan sejauh itu sebelum nekat membicarakan ini dengan Ina.
Langit merasa ikut tertekan karena melihat bagaimana Ares menghadapi masalah ini.
Di sisi lain, Ina kini berjalan beriringan dengan Iden. Adiknya itu tampaknya sadar kalau Ina ada dalam suasana hati yang buruk.
"Kenapa tadi?" tanya Iden terdengar ragu.
"Dia bahas soal Ares," jawab Ina.
Iden tahu persoalan ini. Mau bagaimanapun mereka adalah sepasang adik dan kakak ini adalah tempat curahan hati masing-masing.
"Emang bukan dia yang salah, 'kan? Lo kenapa—"
"Gue marah karena lukisan gue hilang, oke? Lo tahu sendiri gimana gue bikin itu. Udah, gue gak mau bahas. Gue gak mau berantem sama lo," potong Ina tanpa melihat pada Iden.
Perempuan itu mempercepat langkahnya dan Iden mau tak mau menyusul dalam keadaan diam. Dalam hati dia sedikit prihatin karena Ares yang suka pada kakaknya malah kecolongan soal ini. Dari dulu, Ina selalu lebih sensitif terhadap lukisannya.
Contohnya seperti sekarang, dia mogok bicara dengan Ares dan Kayla. Jika anggota lain terkesan menyudutkan pada Ares, maka Ina pada keduanya. Walau tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya, tapi tatapan matanya cukup menjelaskan apa yang ia rasa.
Tak heran kalau Ares selalu kepikiran dengan ini. Terlebih laki-laki itu sudah mendengar secara langsung pandangan Ina terhadap lukisan yang ia buat.
Ares selalu datang lebih pagi walau kunci tak lagi ia pegang. Ia tahu lukisan itu tak ada di sekolah, tapi Ares berharap yang mengambilnya telah mengembalikannya ke sini.
Selama pensi, Ares tak pernah absen mengunjungi ruangan yang ada di sekolah satu per satu. Meski begitu, ia tak pernah menemukan lukisannya. Entah dibawa ke mana lukisan itu.
Ares tak menemukan petunjuk sama sekali. Hari Senin, ruang seni masih lengkap dengan lukisan yang ada. Namun, keesokkannya malah menghilang.
Yang memegang kunci adalah dirinya dan Kayla. Ares tak datang ke sekolah saat Senin, begitu pun dengan Kayla seperti yang perempuan itu katakan padanya.
"Ayo, Res ... mikir! Lukisan Kak Ina juga ikut hilang, semua punya kelas 11 gak ada," gumam Ares. Kakinya bergetar tak ingin diam.
Ia baru selesai berkeliling satu kali lagi di hari terakhir acara pensi ini dilaksanakan. Setelah tadi mereka melakukan evaluasi dan berujung semua kena omelan dari Bu Resti, Ares memutuskan sekali lagi untuk mencari lukisan di area sekolah.
Satu kalimat dari Bu Resti terus terngiang dalam kepalanya.
"Ina, Cakra, kalian itu ibu percaya buat pimpin pameran ini. Sebuah kesalahan besar karena karya seni yang ada hilang. Kita susah payah supaya ekskul kita bisa dilihat lagi, tapi dengan karya seni yang sedikit seperti ini ibu tidak yakin tahun depan kita diperbolehkan untuk mengadakannya lagi atau tidak. Ibu kecewa dengan kalian berdua."
Pada ujungnya, Ina dan Cakra yang akan menanggung semuanya. Mereka memberikan kepercayaan padanya, tapi Ares malah membuat mereka menanggung semua kesalahan yang ada. Terlebih setelah itu, Bu Resti meminta untuk berbicara dengan mereka berdua saja. Entah sekarang sudah selesai atau belum, yang jelas Ares belum melihat anggota Art Club keluar dari area sekolah.
Ares kini tengah duduk di tangga dengan rambut yang sudah tak bisa dibilang rapi.
"Lukisan itu berarti banyak untuk saya."
Entah sudah berapa kali Ares mengacak rambutnya setiap mengingat perkataan Ina waktu itu. Ares tahu kalau ini bukan salahnya karena ia juga tak tahu kenapa lukisannya bisa hilang, tapi tetap saja Ares tak bisa menolak perasaan bersalah yang menghinggapi dirinya.
"Ares," panggil seseorang yang membuat Ares mendongak. Kayla adalah orang yang baru saja memanggilnya.
Ares diam. Menunggu Kayla mengatakan apa maksudnya.
Kayla memainkan ujung jaket yang ia kenakan. Perempuan itu menunduk, tak berani melihat pada Ares.
"Lukisannya ... sebenarnya itu ... lu-lukisan—"
Ares mengernyit. "Ngomong yang jelas, Kay."
Kayla memejamkan matanya. "Lukisan-lukisan itu ada di aku. Aku yang sembunyiin."
Ares berdiri, memandang Kayla tak suka.
"Buat apa kamu ngelakuin ini?"
"Buat kamu," jawab Kayla sambil menatapnya.
Kerutan semakin terlihat jelas di dahi Ares. Dia menunjuk dirinya sendiri. "Buat aku? Kamu mau aku dibenci sama anggota lain?"
Kayla mengangguk. "Kamu makin dekat sama Kak Ina, bahkan sering pulang bareng. Aku mau Kak Ina benci kamu, jadi aku ngelakuin ini karena kamu pasti bakal tertuduh."
"Kenapa Kak Ina harus benci sama aku? Kenapa harus dengan cara ngerusak harapan Art Club?!" Ares menaikkan nada suaranya dan itu membuat Kayla memejamkan matanya.
"Supaya Kak Ina gak mau sama kamu! Aku tahu kamu suka sama dia, aku gak mau kalian pacaran. Soalnya aku suka sama Ares!"
Ares terdiam, ia benar-benar tak menyangka dengan alasan Kayla melakukan semua ini. "Cuma karena suka, kamu jadi orang jahat kayak gini, Kay. Kamu ngehancurin apa yang Art Club bangun dari awal," ucap Ares terdengar lemas.
Ares meraih pergelangan tangan Kayla untuk ia cengkeram. Kemudian memaksa perempuan itu untuk mengikutinya menuju Art Club.
"Kamu harus ngaku ke semua anggota, minta maaf, dan balikin lukisan mereka. Ini bukan masalah sepele, Kay!"
"Tapi, Res, aku—"
"Gak ada tapi-tapian! Kamu udah berani ngelakuin semuanya, kamu juga harus berani untuk tanggung jawab."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraki
Teen FictionKesan pertama yang dinilai kurang baik membuat Ina menjadi salah satu hal yang Ares keluhkan. Bilangnya, sih, menyebalkan, tapi Ares seringkali menjadikan ina sebagai objek gambarnya.